Oleh: Prof. Ir. H. Agus Pakpahan, Ph.D., MS. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)

(Tata Panggung: Panggung wayang golek dengan kelir langit sore. Pohon beringin di tengah. Semar duduk di bawahnya, dikelilingi Cepot, Dawala, Gareng. Kresna hadir sebagai penasihat.)

Dalang: (Memukul keprak) “Hong… wilujeng sonten! Di padepokan Semar, para punakawan sedang gelisah. Bukan karena lapar, tapi karena membaca berita korupsi yang membuat hati jadi sesak. Simaklah lakon ‘Solusi Korupsi dari Lurah Semar’!”

(Cepot menggebrak sejadah dengan wajah geram. Gareng menghela napas panjang. Dawala gelisah memainkan tongkat.)

Cepot: “Lurah Semar! Kuring baru baca berita soal Djoko Tjandra! Teu tahan, Lurah! Duit triliunan rakyat lenyap kayak ditelan bumi, dibawa kabur ke pulau-pulau seberang! Aing hayang ngamuk, tapi bingung rek ngamuk ka saha!”

Semar: (Tenang, tenang sambil nyeruput kopi panas yang manis dengan gula aren) “Sabarr, Cepot. Marah itu mudah. Tapi memahami akar masalah itu yang perlu kebijaksanaan. Coba ceritakan pada Semar, apa yang bikin darahmu mendidih?”

Gareng: (Menjegal langkah sendiri sambil gelisah) “Ini, Lurah! Kasus Bank Bali zaman dulu. Katanya mau ganti rugi simpanan rakyat, eh malah jadi lahan korupsi. Fee makelarnya sampai 60 persen! Itu kan lebih gila dari komisi calo tikus!”

Dawala: (Bicara terbata-bata) “Dan… dan… yang bikin aing pusing… duit hasil korupsi itu disembunyikan di British Virgin Islands! Itu lho, pulau-pulau kecil di Karibia yang jumlah perusahaaannya lebih banyak daripada penduduknya!”

Semar: (Mengangguk pelan) “Hmmm… jadi duit rakyat Indonesia ‘libur’ ke sana? Lalu kita yang di sini harus gigit jari?”

Cepot: “Iya, Lurah! Dan yang bikin aing kesel, dia kabur 11 tahun! Hidup mewah di Singapura! Sedangkan rakyat sini antri minyak, antri beras, antri BPJS! Keadilan di mana?”

(Kresna muncul dengan aura tenang. Semua menunduk hormat.)

Kresna: “Wahai para punakawan. Kemarahanmu wajar. Tapi marah saja tak cukup. Korupsi seperti ini adalah penyakit sistemik. Ia punya tiga kepala: keserakahan, kelemahan hukum, dan sistem global yang memungkinkan duit haram bersembunyi.”

Gareng: “Lha terus bagaimana, Dewa Kresna? Kita harus putar otak tujuh keliling untuk paham skemanya. Rakyat kecil mana ngerti soal perusahaan cangkang, surga pajak, Mossack Fonseca!”

Semar: (Berdiri, berjalan pelan) “Gareng benar. Rakyat hanya merasakan dampaknya: jalan rusak, sekolah bobrok, rumah sakit tak layak. Tapi pelakunya hidup bergelimang. Ini bukan lagi soal hitung-hitungan duit, tapi soal keadilan yang ternoda.”

Dawala: “Jadi… solusinya apa, Lurah? Aing sering dengar orang teriak ‘berantas korupsi!’, tapi kok makin banyak yang korupsi? Kayak jamur di musim hujan!”

Semar: (Duduk kembali, bicara dengan tenang tapi tegas) “Semar punya tiga solusi sederhana. Dengarkan baik-baik.”

Pertama: Tutup Semua ‘Pintu Belakang’ Hukum!
“Hukum jangan tebang pilih.Koruptor kelas kakap harus dihukum seberat-beratnya. Jangan sampai ada ‘pintu belakang’ untuk mengurangi hukuman atau mengatur supaya bisa hidup nyaman di penjara.”

Kedua: Berantas ‘Tikus’ di Dalam ‘Kapal’!
“Perkuat pengawasan internal.Otoritas jasa keuangan, pajak, dan bea cukai harus dibersihkan dari ‘tikus’. Beri reward pada whistleblower yang berani ungkap korupsi.”

Ketiga: Jangan Andalkan ‘Tolongong’ Negara Lain!
“Kita harus mandiri dalam pelacakan dan pengembalian aset.Perkuat kerjasama bilateral, tapi jangan mengemis. Negara harus punya bargaining power untuk minta bantuan.”

Cepot: “Tapi Lurah, koruptornya pinter! duitnya disembunyikan di luar negeri, pakai sistem rumit!”

Kresna: “Disinilah peran kecerdasanmu, Cepot. Negara harus punya tim ahli forensic accounting, cyber investigation, dan hukum internasional. Jangan hanya andalkan polisi biasa. Butuh spesialis yang paham seluk-beluk pencucian uang global.”

Gareng: “Lalu bagaimana dengan duit rakyat yang sudah kabur? Apa harus rela hilang begitu saja?”

Semar: “Tidak, Gareng. Kejar terus! Jangan ada kadaluwarsa untuk kejahatan korupsi. Aset yang berhasil disita harus dikembalikan ke kas negara, dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk ‘proyek’ baru yang jadi lahan korupsi lagi.”

Dawala: “Lurah… aing… aing kadang pesimis. Sistemnya sudah terlalu busuk. Apa bisa diperbaiki?”

Semar: (Tersenyum bijak) “Dawala, dengar baik-baik. Perbaikan itu seperti menanam pohon. Hasilnya tidak langsung kelihatan. Tapi jika tidak mulai sekarang, kapan lagi? Jangan tunggu sampai negara bangkrut dan rakyat menderita.”

Kresna: “Semar benar. Korupsi adalah perang antara keserakahan dan keadilan. Butuh keberanian untuk melawan, ketekunan untuk membongkar, dan konsistensi untuk mencegahnya tumbuh kembali.”

Dalang: (Memukul keprak) “Jadi, para kadang, korupsi memang seperti monster berkepala banyak. Tapi dengan semangat gotong royong, pengawasan ketat, dan hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu, lambat laun keadilan akan kembali bersinar!”

(Semar dan punakawan bersatu di tengah panggung, sambil menyanyikan tembang tentang keadilan dan harapan.)

Penutup: Korupsi bukan makhluk mitos. Ia nyata dan merusak. Tapi dengan niat baik, keberanian, dan sistem yang kuat, kita bisa memenangi pertarungan ini.

Inspirasi: GWS, “Si Kabayan dan Misteri Triliunan yang Lebyap”, 18 September 2025