Oleh: Dindin Najamuddin, SE. (Kepala Bagian Akademik Universitas Koperasi Indonesia)

Hari itu hujan rintik turun sejak pagi. Langit sore kelabu menggantung rendah, seperti turut merasakan beban yang menekan dada seorang ibu di sebuah rumah sederhana di jalan sempit di sebuah kota besar.

Di dalam rumah, dua anak kecil, kakak dan adik, duduk berselimut sarung di ruang tamu. Perut mereka sudah sejak tadi berbunyi, tapi tak ada aroma masakan yang biasa menyambut pagi.

“Bu… lapar…” lirih suara si adik, merenggut, matanya memelas, memandang ibunya yang sedang melipat pakaian lusuh.

Sang kakak, yang sedikit lebih besar, mencoba menenangkan adiknya. Tapi ia pun tak kuat menahan rasa lapar. “Bu… kita belum makan dari pagi.”

Ibu mereka menoleh, menatap dua buah hatinya dengan senyum yang dipaksakan. Di matanya ada lelah yang dalam. Ia berdiri, membelai rambut si adik, lalu mengangguk pelan.

“Iya, Nak. Ibu masak dulu, ya…”

Padahal, ia tahu. Di dapur tak ada apa-apa.

Hanya sebutir harapan yang kian menipis, seperti isi lemari dapurnya yang sejak kemarin kosong.

Dengan langkah pelan, ia pergi ke dapur. Ditatapnya panci-panci kosong, rak bumbu yang hanya menyisakan sedikit garam, dan satu kantong kecil berisi tepung yang entah sudah sejak kapan tersisa di sana.

“Bismillah…” gumamnya, seperti bisikan penenang dari rasa bersalah

Ia membuka bakul berisi nasi dingin semalam. Jumlahnya tak seberapa, bahkan tak cukup untuk mengenyangkan satu orang dewasa. Tapi ia tahu, ia harus membuat sesuatu.

Dengan tangan gemetar, ia menuangkan tepung ke mangkuk plastik. Ditambahkan air secukupnya, lalu sedikit garam dan penyedap rasa yang sudah hampir habis. Tak ada sayuran, tak ada telur, tak ada apa-apa. Hanya adonan encer yang ia gorengdengan sedikit minyak yang tersisa, menjadi semacam lempeng tipis yang mulai garing di tepiannya.

“Alhamdulillah…” gumamnya lirih, seperti menenangkan hatinya sendiri bahwa apa yang ia buat adalah cukup.

Ia membagi nasi itu menjadi dua bagian kecil. Lalu meletakkan lempeng gorengan tepung di atasnya. Ia bawa ke ruang tamu, lalu menghidangkan di atas meja tamu lusuh tempat anak-anak duduk.

“Ini, makan dulu ya. Nanti kalau udah kenyang, kalian bisa main,” ucapnya sambil tersenyum. Senyum itu tak sempurna. Penuh luka yang tertutup oleh cinta.

Si adik langsung menyuap nasi dengan lahap.

“Enak banget, Bu! Coba tiap hari makan kayak gini,” katanya sambil mengunyah.

Sang kakak menggigit gorengan itu, lalu tertawa kecil.

“Iya, ini makanan terenak di dunia,” ujarnya dengan wajah puas.

Ibu terdiam. Ucapannya seperti pisau kecil yang menyayat halus di dalam dada. Ia berbalik, pura-pura mencari sesuatu di dapur, padahal ia tak sanggup menahan tangisnya.

Di dapur yang sunyi, ia duduk bersandar di dinding, menutup wajahnya dengan tangan. Bahunya terguncang pelan.

“Ya Allah… terima kasih karena hari ini anak-anakku masih bisa tersenyum…”

Ia tak makan. Ia hanya menyesap air putih. Baginya, senyum anak-anaknya jauh lebih mengenyangkan daripada sepotong makanan.

Malam itu, ketika anak-anak sudah tidur dengan perut kenyang oleh cinta dan tepung goreng seadanya, sang ibu duduk di beranda. Menatap langit malam yang gelap.

Hidupnya mungkin sulit. Tapi ia takkan pernah menyerah.

Karena dalam rumah kecil itu, ada dua alasan untuk tetap bertahan: dua anak yang menganggap tepung dan air adalah masakan terenak di dunia.