Prof. Agus Pakpahan, Ph.D. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)
Bagi kalangan umum hutan biasanya bukan merupakan tempat yang disukai. Tidak jarang pula hutan dianggap sebagai tempat yang angker atau menakutkan. Di dalamnya selain tempat binatang buas dipercayai juga sebagai tempat bermukimnya genderuwo atau jin yang menambah angkernya hutan.
Kakek-nenek kita pada masa lalu sering menasihati menjauhlah dari hutan. Perkembangan kota-kota besar merupakan fenomena menjauhi hutan yang disebut urbanisasi.
Teori ekonomi regional klasik von Thunen menggambarkan konfigurasi penggunaan lahan berdasarkan nilai land rent yang menghasilkan pola tataguna lahan (land use) dengan nilai land rent tertinggi adalah kawasan pusat perkotaan kemudian menurun secara berurutan: kawasan permukiman kota, perdesaan, pertanian dan terakhir adalah hutan.
Perkembangan penduduk dunia dari sekitar 1 miliar pada tahun 1800, kemudian meningkat menjadi 2.5 miliar pada 1950 dan menjadi 8.1 miliar pada 2023 dengan segala perkembangan atributnya telah mengubah ekosistem hutan ke bentuk penggunaan lain.
Peningkatan jumlah penduduk dunia tersebut, menurut World Economic Forum (WEF) telah menurunkan luas hutan di dunia dari sekitar 6 milyar hektar pada 10 ribu tahun yang lalu menjadi 4 miliar hektar pada tahun 2018. Laju kehilangan hutan semakin meningkat. Menurut WEF, sejak tahun 1900 sendiri telah terjadi kehilangan hutan di muka bumi 1.1 milyar hektare. Luas hutan di Indonesia, terutama di pulau Jawa sudah ada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dampak dari kondisi ini diperlihatkan oleh frekwensi banjir yang meningkat, erosi tanah banyak yang menjadi penyebab cepatnya pendangkalan sungai dan bendungan, serta perubahan-perubahan yang nyata dalam cuaca atau iklim dan faktor-faktor lainnya yang berkaitan.
Ternyata dalam tempo kurang lebih satu abad (1900-2018) saja sekitar setengahnya dari seluruh pertambahan kehilangan luas hutan selama 10 ribu tahun (dari 6 milyar hektare ke 4 milyar hektare), telah menjadi bukti bahwa laju kehilangan tersebut terjadi dengan laju sangat cepat. Bumi mengalami kehilangan sumberdaya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan laju yang makin meningkat.
Penurunan luas areal hutan ini menyebabkan pelbagai hal, di antaranya yang mengancam keberlanjutan kehidupan yang sehat di muka bumi ini adalah perubahan iklim global. Dengan perkataan lain cara yang tersedia untuk menyelamatkan bumi untuk layak dihuni ini adalah hanya dengan membangun hutan kembali.
Dengan menggunakan cara pandang di atas maka kita perlu melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi akan makna dan fungsi hutan. Hal ini menjadi lebih penting bagi Indonesia yang memiliki struktur wilayah berupa kepulauan. Sifat ekologis sebuah pulau sangat berbeda dengan sifat ekologis benua.
Selain wujud dan fungsinya, ekologi pulau di daerah tropis lebih kompleks dibandingkan dengan pulau di daerah temperate. Misalnya, curah hujan yang tinggi di sebuah pulau di wilayah tropika akan memerlukan penerapan konservasi tanah dan air yang lebih tinggi dibandingkan pulau dengan wujud dan ukuran yang sama yang berada di daerah temperate. Artinya, kawasan budidaya atau kawasan dengan tingkat intensitas pemanfaatan yang tinggi menjadi berkurang dan kawasan untuk digunakan sebagai hutan (lindung) menjadi meningkat.
Sekarang, demi kehidupan masa depan yang lebih berkualitas masyarakat dunia memerlukan areal hutan yang lebih banyak. Konsep land rent yang pada masa sekarang didominasi oleh warna pemikiran ekonomi regional, perlu bergeser ke konsep environmental rent atau nilai ekonomi lingkungan yang lebih mendominasi pengambilan kebijakan publik terkait tata guna lahan sebuah pulau. Konsep ini meletakkan hutan dalam sentral pemikiran menggantikan posisi kota yang selama ini digambarkan sebagai “hutan beton”. Dengan pemikiran ini maka hutan dipandang sebagai wujud ekosistem kehidupan yang ideal. Dalam pandangan ini hutan tidak dilihat lagi sebagai penghasil kayu tetapi sebagai sumbu dan penentu kehidupan masa depan. Gambaran hutan seperti ini tampaknya makin berkembang di kehidupan negara-negara maju.
Kuznet mewariskan teori yang dikenal dengan Kurva Kuznet (KK) yaitu suatu pola pergerakan kehidupan menyerupai huruf U terbalik. Model Kuznet ini menerangkan bahwa pada tahap awal kemajuan ekonomi proses pembangunan akan memanfaatkan hutan melampaui kapasitasnya sehingga banyak hutan yang rusak. Setelah melewati proses pertumbuhan kemakmuran dengan korbanan hutan, maka proses membangun kembali hutan berkembang. Teori Kuznet ini sering dipakai alasan untuk membenarkan berkembangnya deforestasi sebagai bentuk riil biaya sebagai konsekuensi dari pembangunan. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan institusi memberikan kemungkinan proses Kuznet tidak berlanjut. Argumen utamanya adalah knowledge atau ilmu pengetahuan akan mensubstitusi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian intensitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk menghasilkan output yang sama akan jauh berkurang dibanding kondisi sebelumnya. Artinya, kebutuhan untuk mengeksploitasi hutan menjadi berkurang pula. Hal ini pula menjadi makna perlu ditempuhnya industrialisasi yang ramah lingkungan.
Malangnya negara-negara berkembang termasuk Indonesia sebagian besar penduduknya masih tergantung pada sumberdaya alam yang sifat penggunaannya juga masih eksploitatif. Dalam urusan pemenuhan pangan misalnya, ketergantungan akan satu atau dua jenis spesies saja akan meningkatkan kebutuhan lahan hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian.
Akan tetapi, apabila budaya konsumsi pangan berubah kearah budaya yang sifatnya adaptif terhadap lingkungan sumberdaya yang tersedia atau sekaligus pula penghutanan kembali lahan-lahan gundul oleh tanaman-tanaman berupa pohon penghasil pangan seperti sukun dan sejenisnya, maka selain dicapai fungsi konservasi tanah dan air, konservasi keanekaragaman hayati dan konservasi ekosistem pada umumnya, produksi pangan juga akan meningkat.
Aktualisasi model pengembangan Eco-Win-Win seperti ini akan membuka lahir dan berkembangnya pengganti pemahaman klasik Kuznet yaitu pembangunan ekonomi dan pembangunan lingkungan harus dirancang agar terwujud secara komplementer dan serasi.