Oleh: Moch. Fahreza, SE., MAB (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Koperasi Indonesia)
Perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang menuntut inovasi lintas sektor, termasuk dalam dunia usaha. Ketika emisi karbon dioksida terus meningkat dan berdampak pada keberlanjutan lingkungan, dunia mulai beralih kepada pendekatan ekonomi rendah karbon. Salah satu mekanisme yang kini berkembang pesat adalah perdagangan karbon, sebuah sistem berbasis pasar yang memungkinkan entitas usaha untuk membeli dan menjual kredit karbon sebagai bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim.
Menurut laporan State and Trends of Carbon Pricing 2023 dari Bank Dunia, nilai total pasar karbon global kini telah melebihi USD 100 miliar, meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2020 yang hanya sekitar USD 52 miliar. Hal ini mencerminkan meningkatnya kesadaran sekaligus peluang ekonomi dalam skema perdagangan karbon, baik di pasar regulasi maupun pasar sukarela.
Dalam konteks ini, koperasi muncul sebagai entitas ekonomi yang sangat potensial untuk mengambil bagian. Koperasi memiliki struktur kolektif, berbasis komunitas, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama, yang semuanya sangat sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Wronka-Pośpiech dan Nghargbu (2024) menunjukkan bahwa model koperasi sosial sangat efektif dalam menyerap nilai-nilai ekonomi sirkular dan inklusif, menjadikannya medium ideal untuk implementasi kebijakan lingkungan yang partisipatif.
Perdagangan karbon sendiri bekerja berdasarkan prinsip pengurangan emisi berbasis hasil. Entitas yang mampu menurunkan emisinya—seperti melalui reforestasi, pengelolaan hutan, atau teknologi bersih—berhak atas kredit karbon yang kemudian dapat dijual di pasar. Dalam koperasi kehutanan, pertanian, atau energi bersih, kegiatan semacam ini dapat terintegrasi langsung ke dalam program kerja kolektif koperasi. Xu et al. dalam kajian tentang rantai pasok rendah karbon menegaskan bahwa kolaborasi antar pelaku, sebagaimana terjadi dalam koperasi, justru lebih efektif dalam mendistribusikan risiko dan manfaat dari proyek dekarbonisasi.
Potensi pendapatan dari perdagangan karbon pun sangat menjanjikan. Data dari International Emissions Trading Association (IETA) menunjukkan bahwa harga rata-rata kredit karbon pada pasar sukarela mencapai USD 8–12 per ton CO₂, bahkan hingga USD 40 pada proyek-proyek premium berbasis komunitas. Artinya, koperasi yang mampu mengurangi atau menyerap 10.000 ton CO₂ per tahun bisa meraih pendapatan tambahan hingga USD 100.000–400.000, tergantung jenis proyek dan kualitas sertifikasi.
Pengalaman sukses juga telah terjadi. Dalam laporan proyek Sustainable Waste Management for Rural Areas (SUWASO), lebih dari 60 koperasi di negara berkembang berhasil mengelola proyek karbon yang secara kumulatif menyerap lebih dari 200.000 ton CO₂ dalam kurun tiga tahun, utamanya melalui reforestasi, pengelolaan limbah, dan pertanian organik.
Di Indonesia, peluang integrasi koperasi ke dalam sistem perdagangan karbon sangat besar. Dengan lebih dari 127.000 koperasi aktif, banyak di antaranya berada di wilayah pedesaan yang kaya akan sumber daya alam dan potensi serapan karbon. Koperasi tani, hutan kemasyarakatan, hingga koperasi nelayan memiliki aset ekologis yang dapat dimonetisasi melalui skema REDD+, restorasi mangrove, dan praktik agroforestri berkelanjutan.
Namun, untuk berpartisipasi secara aktif dalam pasar karbon, koperasi perlu memenuhi standar teknis internasional. Proses MRV (Measurement, Reporting, and Verification) menjadi syarat utama agar kredit karbon diakui dan dapat diperdagangkan secara legal. Menurut Li et al., sistem pelaporan berbasis teknologi seperti blockchain dapat membantu koperasi dalam mencatat, melacak, dan menjual kredit karbon secara transparan.
Selain aspek teknis, dukungan fiskal dan regulasi dari negara menjadi kunci keberhasilan integrasi ini. Dalam Fiscal Monitor IMF, diusulkan adanya harga dasar karbon global yang dapat mendorong efisiensi kebijakan iklim. IMF menyarankan harga karbon minimum USD 75 untuk negara maju, USD 50 untuk negara berkembang menengah, dan USD 25 untuk negara berkembang rendah hingga tahun 2030. Negara juga diminta memberikan insentif berupa pelatihan teknis, infrastruktur digital, serta pembebasan pajak atas aktivitas ramah lingkungan.
Penting juga untuk mencermati dinamika investasi global. Data dari World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa nilai pasar karbon bisa mencapai USD 250 miliar pada tahun 2030, dengan lebih dari 40 persen pendanaan proyek karbon di negara berkembang berasal dari investor hijau swasta dan lembaga filantropi. Ini menjadi peluang besar bagi koperasi yang mampu menyusun proposal proyek karbon berbasis sosial.
Inovasi bisnis berkelanjutan pun bisa lahir dari sinergi ini. Koperasi dapat mengembangkan lini usaha baru seperti ekowisata karbon, pertanian regeneratif, pengelolaan bioenergi dari limbah, hingga proyek karbon biru di pesisir. Tidak hanya menciptakan sumber pendapatan baru, tapi juga memperkuat daya saing koperasi di pasar global yang mulai mengadopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam penilaian bisnis.
Lebih dari itu, partisipasi dalam proyek karbon juga menumbuhkan kesadaran lingkungan kolektif. Ketika anggota koperasi terlibat langsung dalam menjaga hutan, mengurangi pembakaran lahan, atau mengelola limbah, mereka tidak hanya menerima manfaat finansial tetapi juga menjadi bagian dari perubahan perilaku kolektif menuju keberlanjutan. Walker et al. mencatat bahwa dalam skema berbasis komunitas, transisi menuju ekonomi hijau bukan sekadar agenda kebijakan, melainkan gerakan sosial yang tumbuh dari bawah.