Oleh: Dindin Najamudin, SE. (Kepala Bagian Akademik dan Kemahasiswaa Universitas Koperasi Indonesia)
Di sudut kota yang sibuk, di balik pertokoan dan jalanan berisik, ada sebuah jalan kecil, nyaris tak terlihat dari peta kota. Jalan kecil itu dipenuhi tumpukan besi bekas—kerangka sepeda, kipas angin rusak, kabel terbakar. Udara seringkali berbau gosong atau karat. Tapi buat Jadin, itu adalah dunia yang akrab. Di sanalah Jadin tinggal—anak kelas lima SD, yang selalu bertelanjang kaki ke mana pun dia pergi, kecuali saat ia sekolah.
Rumahnya sederhana, dengan pagar tembok putih yang selalu dicat kapur setiap menjelang 17 Agustus. Tradisi itu dilakukan oleh neneknya, yang tangannya tak pernah bisa diam. Jadin pun selalu ikut membantu, menyambut momen itu dengan semangat. Ia menggoreskan kuas meski tangannya belepotan cat kapur, menikmati setiap percikannya seolah menjadi bagian dari perayaan itu sendiri.
Halaman rumahnya cukup luas. Ada pohon mangga, jambu, dan cengkeh, yang tak pernah tumbuh rapi, tapi Jadin menyukainya. Pohon-pohon itu memberi tempat berteduh, kadang ia berbaring beralas tikar sambil membaca buku cerita lusuh yang dibelinya dari tukang loak dekat sekolah.
Dia suka membaca. Apapun. Kadang membaca kotak bekas makanan, kadang halaman koran bekas pembungkus ikan asin. Tapi kalau ia beruntung, ia bisa membeli bacaan bekas dari lapak kaki lima di dekat sekolah. Uang jajannya disisihkan sedikit demi sedikit, walau berarti ia tak bisa jajan cilok atau permen.
Kegemaran Jadin membaca diturunkan dari ayahnya, seorang sopir angkutan kota, yang setiap pulang kerja selalu membawa koran. Jadin suka membacanya, terutama terbitan hari Minggu karena ada kolom cerita anak-anak.
Teman paling dekatnya dua: Ade dan Rio.
Ade tinggal di ujung gang setelah belokan ke arah mesjid tempat Jadin mengaji. Matanya sipit, kulitnya kusam. Tubuhnya lebih kurus dari seharusnya. Orang-orang tahu dia keturunan Tionghoa, tapi tak ada yang peduli. Warung orang tuanya kadang ramai, kadang kosong melompong. Saat warung bangkrut, Ade kelaparan. Ayahnya sering berjudi dan menghabiskan modal warung. Kadang Ade harus menunggu sampai malam hanya untuk melihat ibunya pulang membawa makanan sisa.
Pernah, saat Jadin sedang makan, Ade datang hanya berdiri di depan pintu. Ibu Jadin memanggilnya masuk, menyendokkan nasi dan lauk seadanya ke piring kosong, seolah Ade memang anak rumah itu juga.
Kadang, Ade mengajak Jadin mencari besi bekas. “Buat makan,” katanya singkat. Jadin mengangguk. Ia tak tanya lebih lanjut. Mereka bawa karung goni kecil, menyusuri gang-gang belakang, mencari kaleng penyok atau potongan besi. Kadang hasilnya cukup buat Ade beli nasi bungkus. Tapi kalau beruntung, Jadin menyisihkan sebagian untuk beli buku. Mereka tak pernah mengeluh. Bahkan sering tertawa saat bertemu tikus besar atau jatuh terpeleset di tempat sampah.
Ade selalu membawa batu kecil di sakunya. “Buat jaga-jaga kalau ada anjing,” katanya. Suatu kali, mereka dikejar anjing kampung dan Jadin tersandung. Ade melempar batu dan berteriak begitu keras sampai anjing itu mundur. Jadin berdarah di lutut, tapi mereka tertawa sambil duduk di pinggir got, membasuh luka dengan air genangan bekas hujan.
Rio berbeda. Rumahnya di seberang jalan. Putih bersih, rambut selalu tersisir rapi, baju selalu wangi. Ayahnya tentara, ibunya guru. Tapi entah kenapa, Rio ingin ikut mencari besi bekas juga. Katanya, “Seperti petualangan di film.” Awalnya Jadin dan Ade menolak. Tapi Rio terus memaksa.
“Boleh, tapi kamu harus pakai baju yang jelek, jangan yang itu,” kata Ade menunjuk kaos bola mahal bertuliskan Argentina 78. Rio tidak peduli, baginya baju sekedar penutup tubuh dari ketelanjangan.
Hari itu, mereka bertiga menyusuri Jalan Anggrek — deretan rumah-rumah kuno berhalaman luas, bergaya kolonial berdiri megah di kedua sisi jalan. Pohon-pohon tanjung yang rindang menaungi jalan. Kadang-kadang, di dekat tempat sampah rumah-rumah itu, tampak peralatan tua yang dibuang.
“Hei… kalian lagi ngapain?”
Seorang gadis seumuran Jadin tiba-tiba menyapa dari balik pagar kawat. Di sampingnya berdiri saudara perempuannya yang lebih kecil, memandang penasaran.
“Aku sama temanku lagi nyari besi bekas,” Jawab Jadin. Ade dan Rio mengangguk-angguk menguatkan jawaban Jadin.
“Kalian kelihatan haus. Masuk, yuk!” katanya, lalu berlari ke arah pintu pagar untuk membukanya.
Mereka bertiga saling pandang.
“Ayo!” kata Rio sambil tersenyum. “Jangan diem aja, Jadin,” tambahnya.
“Tunggu di sini yah!” katanya sambil menujuk undakan tangga beranda rumahnya. Ia berlalu bersama adiknya ke dalam. Sepertinya mau mengambil minum.
Tak lama kemudian, dia kembali diikuti oleh Ibunya yang membawa nampan berisi dua toples kecil kue kering dan tiga gelas air jeruk. “Ayo habiskan!”, katanya singkat. Ia masuk kembali ke dalam rumah tak mau menganggu keceriaan anaknya.
Jadin meneguk air jeruk dari gelasnya, menyisakan setengah bagian lagi. Ia sengaja menahannya—ingin menikmati sisanya nanti, setelah kue-kue di dalam toples itu habis. Sementara Ade dan Rio makan kue dulu. Ade makan dengan lahap, sepertinya dia belum makan dari pagi.
“Kamu tidak ikut makan kue?” kata Rio, kepada si Kakak, suaranya tidak jelas karena mulutnya penuh dengan kue.
“Aku masih kenyang, ini untuk kalian semua” Jawabnya
Si Kakak rupanya cerewet juga. Ia tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan tentang kegiatan mereka mencari besi: ke mana besi itu dijual, untuk apa uangnya digunakan. Jadin tampak kewalahan menjawab semua pertanyaannya, sampai-sampai Ade dan Rio ikut menyela, membantu menjelaskan dengan versi mereka masing-masing.
Tanpa terasa, waktu merambat pelan menuju sore. Ketiganya berpamitan, rasanya menyenangkan berbincang dengan gadis baik hati itu. Sepertinya mereka berasal dari keluarga yang baik—yang tak menilai orang hanya dari satu sisi saja.
Begitu mereka bertiga keluar dari pagar, si Kakak berteriak dari dalam halaman, “Besok ke sini lagi, ya!”
Jadin, Ade, dan Rio menjawab serempak, “Iya!” sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Mereka terlihat senang, begitu juga kedua gadis kakak beradik itu. Tapi janji itu, seperti banyak janji lain yang diucapkan di masa kecil, tak pernah ditepati. Sepertinya dipikiran polos mereka tahu dunianya berbeda.
Mereka melanjutkan perjalanannya. Karung-karung kecil mereka mulai terisi. Rio tertawa saat menemukan setrika rusak, dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti piala. Ade mengangkat tutup panci penyok seperti perisai. Jadin membaca potongan buku sains yang ia temukan tersangkut di semak-semak. Mereka sejenak lupa bau dan kotoran yang menempel di kaki mereka. Sejenak, dunia seperti taman bermain.
Lalu hujan turun.
Bukan hujan besar, tapi cukup membuat karung basah dan kaki mereka licin di lumpur. Rio terpeleset dan seluruh badannya berlumpur. Tapi ia tertawa terbahak-bahak. Ade pun ikut terguling sambil berteriak, “Petualangan sejati!” Jadin cuma geleng-geleng, tapi tak bisa menahan senyum.
Mereka menemukan becak tua terongok dekat rumah kosong, mereka masuk ke dalamnya untuk berteduh. Di sana mereka saling tukar cerita. Rio bercerita tentang perpustakaan di sekolahnya yang penuh buku. Ade bercerita tentang komik yang disobek-sobek untuk dijadikan mainan. Jadin diam, mendengarkan, lalu mengeluarkan potongan halaman dari buku sains tua yang ia temukan. Ia membacakan satu kalimat keras-keras.
“Ferrum atau besi yang dilambangkan dengan Fe, jika teroksidasi saat terpapar air dan oksigen, akan membentuk karat …”.
“Untung aku bukan besi,” gumamnya lega. Ia merasa aman dari kemungkinan berkarat—bahkan merasa dirinya justru semakin kuat saat bersentuhan dengan oksigen dan air.
“Mungkin hanya Superman yang bisa berkarat,” pikirnya, “karena dia ‘kan Manusia Besi.”
“Kita lebih hebat dari Superman, karena kita tidak akan berkarat,” ujarnya penuh percaya diri kepada dua temannya, yang hanya menatapnya dengan bingung.
Hujan berhenti saat matahari mulai tenggelam, mereka pulang. Tapi di ujung jalan, Rio ditunggu. Ibunya berdiri dengan wajah tegang. Ayahnya muncul dari belakang, langsung merampas karung dari tangan Rio. Kata-kata keras terdengar. Pintu ditutup dengan bantingan. Sejak itu, Rio tak pernah muncul lagi saat mereka mencari besi.
Hari-hari berikutnya, Ade tetap berburu besi dan Jadin kadang-kadang ikut. Hari ini karung mereka tetap berat, tapi langkah mereka ringan. Mereka punya tujuan. Untuk sebungkus nasi, untuk sebuah buku bekas.
Minggu berikutnya, saat pulang sekolah, Jadin menemukan sebuah buku cerita bergambar di bawah meja tamu.
“Dari Rio” kata Ibunya singkat. Di halaman pertama, tertulis, “Untuk Jadin, sang penjelajah dunia besi. —R.”
Ia tersenyum. Dunia mereka mungkin penuh karat, tapi ada ruang-ruang baru yang menanti untuk dijelajah. Selama mereka bisa tertawa, dan tetap berjalan, hidup tak akan terlalu gelap.