Oleh: Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA. (Wakil Rektor I Bidang Akademik Dan Kemahasiswaan Universitas Koperasi Indonesia)

Lontaran pemikiran GWS (2025) tentang koperasi dan perkoperasian di Tanah Air
sebagai “infrastruktur tanpa ekosistem keilmuan” patut dikaji secara cermat. Seperti
dikemukakannya, Indonesia memiliki segala perangkat formal untuk koperasi. Yaitu
antara lain Kementerian Koperasi dan UKM, Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN),
bahkan Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN) – satu-satunya perguruan tinggi yang
seharusnya menjadi benteng ilmu koperasi. Namun yang terjadi adalah anomali
epistemologis yang mengejutkan, yaitu IKOPIN sama sekali tidak memiliki Program Studi
Koperasi. Di kampus yang didirikan khusus untuk koperasi ini, yang ditawarkan adalah
program studi Manajemen, Akuntansi, dan Ekonomi Syariah – jurusan yang bisa
ditemukan di universitas mana pun. Ini seperti Institut Teknologi yang tidak mengajarkan
teknik, atau Sekolah Tinggi Seni yang tidak punya jurusan seni rupa. Hal ini cerminan
dari kegagalan sistemik: kita membangun institusi tanpa membangun ilmu yang
seharusnya menjadi jiwanya.
Ada empat hal yang saya pikir perlu mendapat perhatian semua pihak agar koperasi dan
ilmu perkoperasian patut dikuatkan atas dasar ekosistem keilmuan yang utuh dan solid.
Pertama, saat ini koperasi dan perkoperasian diilustrasikan sebagai
amanat
Konstitusional yang terpinggirkan (Pakpahan, 2025). Koperasi dalam Pasal 33 bukan
sekadar badan usaha. Koperasi merupakan instrumen strategis untuk merestrukturisasi
susunan ekonomi warisan penjajahan. Mohammad Hatta, sang Bapak Koperasi,
menegaskan bahwa koperasi adalah jalan ketiga—bukan kapitalisme, bukan sosialisme,
melainkan jalan kekeluargaan yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Koperasi
adalah alat dekolonialisasi ekonomi, bukan sekadar entitas bisnis. Namun dalam praktik
akademik, koperasi justru direduksi menjadi subtopik dalam ilmu manajemen atau
ekonomi mikro. Tidak ada fakultas atau departemen khusus yang mengembangkan
epistemologi perkoperasian sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Padahal, koperasi memiliki
logika, nilai, dan struktur yang berbeda dari perusahaan kapitalistik. Ia mengandung
dimensi sosial, spiritual, dan politik yang khas. Ini yang perlu menjadi perhatian semua
pemangku kepentingan mengapa koperasi seperti kehilangan ruh dan jatidirinya.
Solusinya antara lain perlunya menguatkan koperasi dan perkoperasian sebagai suatu
rumpun ilmu yang ajeg dengan menumbuhsuburkan ekosistem keilmuan seperti ilmu ilmu
lainnya yang sudah dahulu berkembang dan diakui masyarakat luas.
Kedua, koperasi dan perkoperasian perlu lebih mempromosikan diri sebagai keilmuan
mandiri melalui reposisi peran dan posisi koperasi dan perkoperasian dalam dimensi
fisafat perkoperasian. Dalam bidang filsafat, terdapat tiga pilar utama yang menjadi dasar
kerangka pemikiran, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aspek Ontologi berkaitan
dengan eksistensi dan sifat dari realitas, serta mempertanyakan apa yang ada dan
bagaimana hubungan antar entitas tersebut. Dalam konteks ini koperasi bisa diamati
dari eksistensi selama ini sebagai entitas sosial perekonomian masyarakat. Pasal 33
ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan, yang salah satu bentuknya koperasi. Namun demikian,
ide dan praktik mulia koperasi secara pelahan dan terus tergerus dalam kekuatan
kapitalisme yang luar biasa. Kehadiran koperasi sering “kalah bersaing” atau
terpinggirkan oleh gurita perekonomian Dunia yang bercirikan kapitalistik. Fenomena ini,
melahirkan berbagai pikiran untuk melakukan prilaku optimistik melalui gerakan kolektif
kolegial dalam membangun koperasi paradigma baru.
Aspek Epistemologi membahas teori tentang pengetahuan, menyelidiki sifat, sumber,
dan batasan pengetahuan, serta cara manusia mendapatkan pemahaman terkait dunia.
Saat ini ini koperasi dan perkoperasian sedang dilanda penyakit kronis defisit
epistemologis yang melumpuhkan. Kegagalan koperasi tidak sesederhana soal modal
atau manajemen, melainkan ada krisis pengetahuan yang lebih mendasar. Minimnya
body of knowledge yang sistematis menyebabkan setiap koperasi baru harus memulai
dari nol, tanpa mekanisme pembelajaran dari pengalaman koperasi lain. Praktik terbaik
(best practices) tidak terdokumentasi, kegagalan tidak dianalisis, inovasi tidak
disebarluaskan (GWS, 2025).
Aspek Aksiologi berfokus pada nilai dan etika, yaitu mempelajari apa yang dianggap baik
atau buruk, serta dasar dalam tindakan dan keputusan moral. Proses aksiologis koperasi
antara lain bisa dilihat dari sejarah panjang konsep koperasi M. Hatta dalam “Perspektif
Aksiologi Max Scheler”. Hasil yang dicapai antara lain Koperasi M.Hatta diakui sebagai
manifestasi ekonomi kerakyatan yang disusun sebagai usaha bersama, dibangun
dengan semangat solidaritas dan individualitas, serta dilaksanakan secara demokratis
untuk mewujudkan keadilan sosial, menentang kapitalisme secara fundamental. Bentuk
aksiologis Koperasi lainnya, antara lain sejumlah praktik baik yang telah berhasil
ditorehkan oleh sejumlah Koperasi di Tanah Air, antara lain Koperasi simpan pinjam
Keling Kumang di Kalimantan Barat. Ketiga kerangka pemikiran inilah yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi akan menjadi penguat dan perekat koperasi dan
perkoperasian sebagai rumpun ilmu mandiri, Ketiga kerangka pemikiran ini saling terkait
dan membentuk pandangan yang menyeluruh, mempengaruhi berbagai bidang ilmu,
termasuk menjadikan Koperasi sebagai disiplin ilmu mandiri. Yaitu memahami dimensi
ontologi, epistemologi dan aksiologi terkait dengan keberadaan, pengetahuan, dan nilai-
nilai yang terkandung dalam koperasi dan perkoperasian untuk kemaslahatan umat
manusia (cooperatives for the purpose of human prosperity).
Ketiga, koperasi dan perkoperasian perlu penguatan ekosistem berbasis kepercayaan
dan sistem keilmuan yang kokoh. Dalam perspektif New Institutional Economics -NIE
dalam GWS (2025), institusi formal hanya efektif jika didukung oleh sistem kepercayaan
(belief systems) dan sistem pengetahuan (knowledge systems) yang kompatibel. Tanpa
ekosistem keilmuan yang sistematis, institusi formal koperasi yang kosong tanpa ruh dan
makna. Terbatasnya scientific body of knowledge yang terdokumentasi, tidak ada
komunitas riset yang aktif, tidak ada paradigma teoretis yang koheren. Koperasi
Indonesia adalah badan usaha yang diatur tanpa dipahami, dilembagakan tanpa
dipelajari—regulated without being understood, instituted without being studied. Saat ini,
perguruan tinggi atau Lembaga yang berkaitan dengan koperasi dan perkoperasian
belum melaksanakan tranfer of knowledge ataupun transfer of skills on cooperative
secara menyeluruh atau komprehensif. Padahal transfer of cooperative skills dan
attitudes on cooperative ve merupakan kompetensi yang sanga mendasar diperlukan
bagi insan pengurus, pembina, pengawas, dan segenap anggota koperasi. Tampaknya,
tak cukup kita mengandalkan regulasi pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan
bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan,
yang salah satu bentuknya koperasi. Perlu ada ikhtiar sistimatis melalui Pendidikan
koperasi dan perkoperasian secara sistemik. Ide dan praktik mulia koperasi perlu
ditanamkan kepada segenap Insan Koperasi agar mereka memiliki kompetensi dan
karakter yang baik tentang koperasi. Hal ini, akan melahirkan berbagai pikiran jernih dan
inovatif dalam penguatan prilaku berkoperasi. Dengan demikian, koperasi bukan sebatas
badan usaha, tetapi koperasi dipandang sebagai center of knowledge dalam
memperkokoh koperasi sebagai gerakan untuk menegakan keadilan dan kesejahteraan
sosial melalui paradigman baru berkoperasi. Seperti ditegaskan Bung Hatta sebagai
“Bapak Koperasi Indonesia”, koperasi harus menjadi landasan sistem ekonomi, sistem
politik, dan sistem hukum di Indonesia
Keempat, koperasi dan perkoperasian diamati dari prospektif global. Badan Dunia
Perserikatan Bangsa Bangsa (2024) pernah bertanya Koperasi yang bagaimana yang
akan dikembangkan. Lantas dijawabnya sendiri, yaitu Cooperatives built a better World.
Koperasi yang mampu membangun Dunia yang lebih baik. Dalam Sidang Pleno ke-47,
PBB telah mencanangkan Tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional atau the
International Year of Cooperatives 2025. Penetapan Tahun Koperasi Internasional ini
dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengenali kontribusi
koperasi terhadap pembangunan berkelanjutan. Gerakan Koperasi berkaitan erat
dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)
yang dicanangkan PBB. Semua negara, berupaya agar tujuh belas SDG ini bisa
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan komitemen dan kemampuan negara masing
masing. Salah satu keunggulan koperasi adalah kemampuan dalam menghasilkan
sistem ekonomi yang adil dan inklusif dan memberi maslahat kepada masyarakat Dunia
secara lebih berkeadilan. Badan Dunia di bidang pendidikan, pengetahuan, dan
kebudayaan atau UNESCO juga memberikan dukungan penuh terhadap koperasi di
seluruh Dunia. Badan Dunia ini telah menetapkan gerakan Koperasi sebagai salah satu
warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage). Lembaga ini mengakui dan
melindungi berbagai praktik dan tradisi budaya, termasuk gagasan dan praktik
pengorganisasian kepentingan bersama dalam wadah koperasi. Diakuinya, koperasi
merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan berkelanjutan. Koperasi
sebagai bentuk warisan budaya takbenda, telah diakui sebagai organisasi yang mampu
membangun komunitas dengan azas gotong royong untuk meraih manfaat secara adil
dan proporsional.

Dalam konteks Nasional, seyogyanya gerakan koperasi di Tanah air juga mencanangkan
gerakan stimulus dan gerakan pendidikan untuk penguatan ekonomi dan terbukanya
lapangan kerja untuk mencapai SDG-1 (tanpa kemiskinan), SDG-2 (tanpa kelaparan),
SDG-3 (hidup sehat dan sejahtera), SDG-4 (Pendidikan yang bermutu, termasuk
menyelenggrakan Pendidikan Koperasi yang bermutu), SDG-8 (pekerjaan layak dan
pertumbuhan ekonomi), dan SDG-12 (berkurangnya kesenjangan). Hal ini sejalan
dengan semangat Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, untuk kemaslahatan
seluruh umat.

Pendidikan Koperasi
Pemilihan kata “Pendidikan Koperasi” dimaksudkan untuk memberi penegasan
menjadikan koperasi dan perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM).
Semangat berkoperasi dalam Pasal 33 bukan sekadar badan usaha. Koperasi
merupakan instrumen strategis untuk merestrukturisasi susunan ekonomi warisan
penjajahan. Mohammad Hatta menegaskan bahwa koperasi adalah jalan ketiga—bukan
kapitalisme, bukan sosialisme, melainkan jalan kekeluargaan yang sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia. Koperasi adalah alat dekolonialisasi ekonomi, bukan sekadar entitas
bisnis. Maknanya, koperasi, sebagai sokoguru perekonomian nasional, memiliki peran
strategis dalam membangun demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Ekosistem
perkoperasian yang sehat, kuat, dan cerdas sangat diperlukan untuk mewujudkan
koperasi menjadi institusi ekonomi Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD ‘45.
Ekosistem perkoperasian yang sehat, kuat, dan cerdas tersebut tidak akan terwujud
tanpa adanya dukungan ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian yang
memadai. Ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian sebagaimana yang
diharapkan tersebut tidak akan lahir apalagi terwujud di Indonesia mengingat sampai saat
ini koperasi dan perkoperasian belum diakui sebagai rumpun keilmuan mandiri dalam
sistem pendidikan tinggi Indonesia. Saat ini, pengembangan koperasi dan perkoperasian
sebagai bidang ilmu dan praktik perkoperasian terhambat oleh ketiadaan kurikulum yang
menyeluruh, metodologi, dan institusi pendidikan yang khusus mendalami tentang
Koperasi dan perkoperasian. Kondisi ini mendorong perlunya langkah percepatan untuk
mengangkat status perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM) dan
mengembangkan model institusi yang tepat untuk mendorong percepatannya. Oleh
sebab itu, makna “Pendidikan Koperasi” dalam tulisan ini lebih menekankan perlunya
status koperasi dan perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM) dengan
model institusi/lembaga pendidikan tinggi yang merencanakan dan melaksanakan Tri
Dharma Pendidikan tinggi bidang koperasi dan perkoperasian.
Koperasi di Indonesia memiliki legitimasi konstitusional tertinggi melalui Pasal 33 UUD
1945, namun belum diakui sebagai rumpun keilmuan mandiri (RKM) dalam sistem
pendidikan tinggi nasional. Akibatnya, pendidikan koperasi atau perkoperasian
terfragmentasi, riset terbatas, dan pengembangan SDM koperasi berjalan lambat.
(Naskah Akademik Usulan Kebijakan Mengangkat Status Perkoperasian Sebagai
Rumpun Keilmuan Mandiri (Ikopin University, 2025).
Di Indonesia, output pendidikan tinggi yang hingga sekarang dihasilkan adalah output
dari hasil cara pandang sempit yaitu hanya melihat koperasi atau perkoperasian sebagai
subordinat ilmu ekonomi atau manajemen. Belum ada lulusan yang dihasilkan dari
Program Diploma ( D1,D2, D3, D4), Program Sarjana, ataupun Program Magister dan
program Doktor bidang Koperasi dan Perkoperasian yang dihasilkan Pendidikan Tinggi
di Indonesia. Padahal Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) telah mengamanahkan dan mengatur tentang
jenjang, penyetaraan, dan penerapan kualifikasi sumberdaya manusia Indonesia,
termasuk sumberdaya manusia di bidang Koperasi dan perkoperasian.
Dalam konteks Kampus Berdampak, Arah Baru Pendidikan Tinggi yang relevan dengan
Realitas Sosial (Kemdiktisaintek, 2025) ada tiga motor Transformasi Bangsa, yaitu: (i)
Menjadi motor transformasi sosial ekonomi; (ii) menghasilkan inovasi yang relevan; dan
(iii)mendukung SDGs. Hal ini sejalan cita cita untuk menjadikan koperasi dan
perkoperasian sebagai rumpun ilmu mandiri agar Kampus Berdampak dalam bidang
Koperasi dan Perkoperasian bisa terwujud.
Bila cara pandang koperasi sebagai rumpun ilmu mandiri diterapkan, maka koperasi dan
perkoperasian tidak lagi dipandang sekadar wadah formal alat ekonomi, bukan sekadar
objek hukum, dan bukan sekadar bagian kecil dari disiplin lain. Sesuai dengan semangat
UU nomor 25 koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Sebagai gerakan ekonomi rakyat, maka koperasi dipandang sebgai organisme sosial
yang hidup, tumbuh, dan berbuah kesejahteraan. Koperasi secara epistemologis tumbuh
dan berkembang sebagai rumpun keilmuan mandiri. Koperasi tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat, dengan tetap berlandaskan
perekonomian bangsa ditata sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,
dan koperasi adalah wujud nyata dari amanat tersebut. Oleh sebab itu, koperasi sebagai
rumpun ilmu mandiri, akan membuka lebar lebar perkembangan keilmuan termasuk
hadirnya koperasi dalam pusaran teknologi digital, termasuk dalam memanfaatkan
platform daring dan pemanfaatan artificial intelligent (AI) dalam koperasi dan
perkoperasian.
Koperasi Pendidikan
Kata “Koperasi pendidikan” sengaja dipilih agar hadirnya koperasi sebagai badan usaha
sesuai dengan UU RI nomor 25 tahun 1992, juga dalam mengembangkan Koperasi,
maka koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai berikut : (i) pendidikan
perkoperasian; dan (ii) kerja sama antarkoperasi. Dengan demikian, koperasi pendidikan
pada hakekatnya pengejawantahan dari prinsip Koperasi untuk memberikan layanan
pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi (Pasal 5 ayat 2). Koperasi
pendidikan dimaksudkan agar Koperasi (yang maju dan berhasil) wajib memberikan
layanan pendidikan perkoperasian, selain layanan seperti lazimnya prinsip koperasi
lainnya yaitu keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; pengelolaan dilakukan secara
demokratis; pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masing anggota; pemberian balas jasa yang terbatas
terhadap modal; dan kemandirian. Layanan Koperasi dalam memberikan pendidikan dan
pelatihan perkoperasian ataupun Koperasi membuka diri untuk tempat Praktik, Magang,
bagi mahasiswa yang sedang belajar ilmu koperasi dan perkoperasian.
Praktik koperasi dan perkoperasian di suatu koperasi oleh mahasiswa yang sedang
belajar koperasi menjadi pengalaman yang sangat berharga daan memberi dampak
langsung pada capaian kompetensi para lulusan. Sama hal nya juga pada keilmuan lain,
para mahasiswa yang melakukan praktik kerja pada lembaga yang relevan dengan
keilmuannya merupakan pengalaman bermakna (meaningful learning experience) untuk
meningkatkan kemampuan profesinalnya ketika mereka lulus dan mengabdi di
masyarakat.
Sebagai pembanding bidang ilmu lain misalnya, rumah sakit (Rumkit) tertentu berperan
sebagai Rumah Sakit Pendidikan (teaching hospital) bagi mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan Mahasiswa Keperawatan. Juga dalam bidang Pendidikan Guru, Sekolah
Laboratorium atau Sekolah tertentu diberi tugas tambahan sebagai Sekolah pendidikan
(teaching school) bagi mahasiswa calon guru pada lembaga pendidikan tinggi
kependidikan.
Studi Arets, Jennings, dan Heijnen (2016) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis
formal (misalnya tatap muka di kelas) berkontribusi kurang lebih sebesar 10%.
Sedangkan pembelajaran berbasis sosial (misalnya di masyarakat) secara umum dapat
berkontribusi kurang lebihsebesar 20%. Dan pembelajaran berbasis pengalaman nyata
(praktik kerja aau praktik industri atau magang pada lembaga yang relevan) berkontribusi
kurang lebih sebanyak 70% terhadap peningkatan kompetensi. Oleh sebab itu, dalam
konteks koperasi dan perkoperasian, perlu keterbukaan koperasi yang sudah maju dan
berkinerja baik, untuk menjadi tempat menimba ilmu bagi para mahasiswa yang sedang
belajar koperasi. Koperasi ini telah melaksanakan salah satu fungsi penting yaitu layanan
pendidikan perkoperasian (sesuai Pasal 5 ayat 2 UU nomor 25 tahun 1992 tentang
perkoperasian).
Kesimpulan

  1. Saat ini koperasi dan perkoperasian dilustrasikan sebagai amanat Konstitusional
    yang terpinggirkan. Koperasi dalam Pasal 33 bukan sekadar badan usaha.
    Koperasi merupakan instrumen strategis untuk merestrukturisasi susunan
    ekonomi warisan penjajahan. Mohammad Hatta, sang Bapak Koperasi,
    menegaskan bahwa koperasi bukan kapitalisme, bukan sosialisme, melainkan
    jalan kekeluargaan yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
  2. Koperasi dan perkoperasian perlu lebih mempromosikan diri sebagai keilmuan
    mandiri melalui reposisi peran dan posisi koperasi dan perkoperasian dalam
    dimensi filsafat perkoperasian. Dalam bidang filsafat, terdapat tiga pilar utama
    yang menjadi dasar kerangka pemikiran, yaitu ontologi, epistemologi, dan
    aksiologi.
  3. Koperasi dan perkoperasian perlu penguatan ekosistem berbasis kepercayaan
    dan sistem keilmuan yang kokoh. Yaitu koperasi sebagai institusi formal efektif jika
    didukung oleh sistem kepercayaan (belief systems) dan sistem pengetahuan
    (knowledge systems) yang kompatibel.
  4. Dalam perspektif global, koperasi dan perkoperasian menuju pada Cooperatives
    built a better World. Koperasi yang mampu membangun Dunia yang lebih baik.
    Gerakan Koperasi berkaitan erat dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau
    Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB.
  5. Pendidikan Koperasi dimaksudkan untuk memberi penegasan menjadikan
    koperasi dan perkoperasian sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri (RKM).
    Ekosistem perkoperasian yang sehat, kuat, dan cerdas tidak akan terwujud tanpa
    adanya dukungan ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian yang
    memadai. Ilmu pengetahuan tentang koperasi dan perkoperasian tidak akan lahir
    mengingat sampai saat ini koperasi dan perkoperasian belum diakui sebagai
    rumpun keilmuan mandiri dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.
  6. Koperasi pendidikan pada hakekatnya pengejawantahan dari prinsip Koperasi
    untuk memberikan layanan pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar
    koperasi (Pasal 5 ayat 2). Koperasi pendidikan dimaksudkan agar Koperasi (yang
    maju dan berhasil) wajib memberikan layanan pendidikan perkoperasian, selain
    layanan seperti lazimnya prinsip koperasi lainnya. Koperasi pendidikan yaitu
    layanan koperasi yang memberikan pendidikan dan pelatihan perkoperasian bagi
    anggota atau masyarakat umum sebagai tempat Praktik, Magang.
    DAFTAR PUSTAKA
    Arets, J., Jennings, C., & Heijnen, V. (2016). 70:20:10 towards 100% performance.
    Sutler Media, Maastricht
    GWS (2025). Menghidupkan Kembali Koperasi Di Bumi Pertiwi #2 Koperasi: Soko
    Guru Yang Hilang. GWS, 27 Oktober 2025
    IKOPIN University. (2025) Naskah Akademis Usulan Kebijakan Mengangkat: Status
    Perkoperasian Sebagai Rumpun Keilmuan Mandiri dan Pengembangan
    Cooperative Grant University sebagai Institusi Pendidikan Percepatan Produksi
    Ilmu-Ilmu Perkoperasian Indonesia dan Pemanfaatannya. Bandung: IKOPIN
    University (dokumen tak diterbitkan).
    International Cooperative Alliance. (2023). G20 Cooperatives recognized as an
    essential partner in accelerating sustainable development by the G20.
    International Cooperative Alliance.
    Itang (2016). Pemikiran Ekonomi Koperasi. Mohamad Hatta. Serang: Laksita
    Indonesia Publishing.
    GWS (2025). Menghidupkan Kembali Koperasi Di Bumi Pertiwi #2 Koperasi: Soko
    Guru Yang Hilang. GWS, 27 Oktober 2025
    Kemdiktisainstek (2025). Kampus Berdampak, Arah Baru Pendidikan Tinggi yang
    relevan dengan Realitas Sosial. Jakarta: Kemdiktisaintek Republik Indonesia.
    UNESCO (2025). Cooperatives as Key Actors in Positioning Culture as a Common
    Good, and as a Standalone Goal for Sustainable Development. Tersedia pada
    https://www.thenews.coop/wp-content/uploads/2025/09/UNESCO-Policy-Paper
    Mondiacul-2025.pdf
    Pakpahan, Agus. 2025. Koperasi untuk Mengatasi Detransformasi. Koperasi Atasi
    Detransformasi. Serial Tropikanisasi–Kooperatisasi, Edisi 8 November 2025.
    Wahyudin, Dinn (2024) Koperasi & Manajemen Profetik. Bandung : Ikopin University
    Press.
    Wahyudin, Dinn (2025). Badan Dunia PBB dan Koperasi. IKOPIN University. Diakses
    pada https://ikopin.ac.id/badan-dunia-pbb-koperasi/#