Oleh: Mohammad Fahreza, SE., M.B.A. (Kepala Bagian Kurikulum IKOPIN University)

Anak itu mengangkat miniatur pesawat dengan mata berbinar—sebuah adegan yang lazim kita baca sebagai simbol ambisi: terbang tinggi, melampaui batas, mencapai langit. Namun mari kita ubah satu elemen saja: bukan “pilot”, melainkan “guru”. Yang menarik, perubahan ini tidak mengecilkan cita-cita; justru memperluasnya. Jika pilot mengantar penumpang menuju satu tujuan, maka guru mengantar banyak manusia muda menuju banyak masa depan—dengan rute yang berbeda-beda.

Ketika anak itu berkata, “Saya ingin menjadi guru,” ia sedang memilih profesi yang bekerja di jantung pembangunan manusia. Berbagai kajian lintas negara menegaskan bahwa kualitas guru merupakan salah satu faktor sekolah yang paling menentukan pembelajaran murid. Pesan ini juga muncul dalam laporan global tentang guru yang menempatkan penguatan profesi guru sebagai prasyarat untuk mencapai pendidikan berkualitas.

Guru sebagai “arsitek penerbangan” pembelajaran

Miniatur pesawat itu dapat dibaca ulang sebagai metafora pedagogik. Pesawat tidak akan terbang hanya karena mesinnya kuat; ia butuh peta rute, instrumen, protokol keselamatan, serta kapasitas pilot untuk mengambil keputusan di tengah turbulensi. Dalam pendidikan, “mesin” adalah potensi anak; “peta rute” adalah kurikulum; “instrumen” adalah strategi mengajar; “protokol” adalah asesmen dan umpan balik; sementara “pilot” yang sesungguhnya adalah guru—bukan untuk menerbangkan dirinya sendiri, tetapi untuk membantu murid menempuh perjalanan belajarnya. Di titik ini, profesi guru adalah profesi berbasis pengetahuan (knowledge-based profession). Kerja utamanya bukan sekadar menyampaikan materi, melainkan merancang kondisi agar belajar benar-benar terjadi.

Konsep Pedagogical Content Knowledge (PCK) dari Shulman menjelaskan mengapa “menguasai materi” saja tidak cukup. Guru yang efektif harus mampu mengubah pengetahuan disiplin menjadi representasi yang dapat dipahami murid: analogi, contoh, penjelasan, demonstrasi, serta antisipasi miskonsepsi. Dengan PCK, guru menjembatani “apa yang diajarkan” dan “bagaimana cara murid memahaminya”—sebuah keterampilan yang tidak otomatis dimiliki oleh orang pintar, tetapi dibentuk oleh pendidikan guru, pengalaman, refleksi, dan praktik yang terarah.

Mengajar di era krisis belajar dan krisis guru

Mengapa “menjadi guru” relevan dibaca sebagai agenda masa depan? Karena dunia sedang menghadapi dua krisis yang saling mengunci: krisis belajar dan krisis ketersediaan guru. Bank Dunia memperkenalkan istilah learning poverty, yakni kondisi anak usia sekitar 10 tahun yang tidak mampu membaca dan memahami teks sederhana—indikator peringatan dini bahwa sekolah hadir, tetapi pembelajaran tidak terjadi secara memadai.

Pada saat yang sama, UNESCO dan mitra globalnya memproyeksikan kebutuhan puluhan juta guru tambahan untuk mencapai target pendidikan universal pada 2030—angka yang menggambarkan tekanan pada rekrutmen, pelatihan, retensi, dan kesejahteraan guru. Kekurangan guru bukan sekadar isu jumlah; ia berkaitan langsung dengan kepadatan kelas, kualitas interaksi belajar, dan kesempatan murid untuk menerima bimbingan yang personal.

Dalam konteks inilah, anak —yang semula ingin “mengemudikan pesawat”—ketika memilih menjadi guru, sesungguhnya sedang memilih menjadi bagian dari solusi struktural: memperkuat fondasi literasi, numerasi, nalar kritis, dan karakter sebagai modal daya saing jangka panjang.

Kekuatan guru bukan hanya individu, tetapi kolektif

Salah satu pesan penting dalam riset pendidikan modern adalah bahwa kualitas sekolah tidak hanya ditentukan oleh “guru hebat” secara individual, melainkan oleh kekuatan kolektif sebuah komunitas guru. Konsep collective teacher efficacy—keyakinan bersama para guru bahwa mereka mampu memengaruhi hasil belajar murid—sering disebut sebagai pengaruh yang sangat kuat terhadap capaian belajar. Dalam tradisi visible learning, pengaruh ini dipandang menonjol dibanding banyak intervensi lain, terutama ketika sekolah membangun budaya kolaborasi, umpan balik, dan peningkatan berkelanjutan.

Di sini, “guru” bukan lagi figur tunggal di depan kelas, melainkan sistem kerja profesional: ada perencanaan bersama, peer coaching, berbagi praktik baik, dan pengambilan keputusan berbasis data. OECD juga menekankan pentingnya kolaborasi, mentoring, dan jejaring sejawat sebagai bagian dari profesionalisme guru—yang pada akhirnya memperbaiki kualitas pengajaran.

Jika anak dalam gambar itu kelak menjadi guru, ia tidak cukup bermimpi menjadi “guru inspiratif” versi poster motivasi. Ia perlu menjadi guru profesional: bekerja dengan bukti, dengan komunitas, dan dengan disiplin refleksi—sehingga inspirasi tidak berhenti pada emosi sesaat, tetapi berubah menjadi peningkatan capaian belajar yang terukur.

Teknologi dan AI: autopilot yang tidak boleh mengambil alih kokpit

Pesawat*….., juga mengingatkan pada satu isu kontemporer: di dunia penerbangan ada autopilot, tetapi kokpit tetap memerlukan manusia untuk memastikan keselamatan, etika keputusan, dan respons dalam situasi kompleks. Dalam pendidikan, teknologi—termasuk AI—dapat membantu, tetapi tidak bisa menggantikan inti kerja guru: relasi pedagogik, penilaian profesional, dan pembentukan karakter.

OECD TALIS 2024 menunjukkan bahwa guru semakin berhadapan dengan realitas kelas yang berubah, termasuk penggunaan teknologi digital dan AI dalam praktik mengajar serta kebutuhan pengembangan kompetensi yang relevan. Gambaran ini menegaskan bahwa guru masa depan perlu literasi teknologi, namun tetap memegang kendali pedagogik: AI membantu mempercepat tugas administratif atau rancangan awal pembelajaran, tetapi keputusan akhir tetap berbasis tujuan belajar, konteks kelas, dan kebutuhan murid.

Menjadi guru juga berarti menegakkan keadilan sosial

Ada lapisan lain yang lebih dalam: sekolah bukan ruang netral. Sosiologi pendidikan mengingatkan bahwa pendidikan dapat mereproduksi ketimpangan bila akses terhadap “modal budaya” tidak merata. Dalam kerangka Bourdieu dan Passeron, praktik pendidikan dapat menguntungkan kelompok yang sejak awal sudah dekat dengan bahasa, kebiasaan, dan sumber daya yang dihargai sekolah. Karena itu, guru yang baik adalah guru yang sadar keadilan: memperluas akses, menguatkan literasi dasar, dan merancang pembelajaran diferensiatif agar setiap murid—apa pun latar belakangnya—punya peluang yang sungguh-sungguh untuk berhasil.

Maka, ketika anak itu memilih menjadi guru, ia memilih peran etis: mengurangi “turbulensi” ketimpangan, membangun scaffolding bagi murid yang tertinggal, dan memastikan kelas menjadi ruang yang memanusiakan. Ia membantu murid bukan hanya “naik kelas”, tetapi naik martabat.

Cita-cita yang melipatgandakan masa depan

Jika mimpi menjadi pilot sering dibayangkan sebagai pencapaian personal yang tinggi, maka mimpi menjadi guru adalah pencapaian yang melipatgandakan masa depan. Guru menyalakan banyak lampu sekaligus—dan setiap lampu itu menerangi jalan orang lain. Di dunia yang menghadapi krisis belajar dan kekurangan guru, memilih menjadi guru adalah tindakan strategis: membangun bangsa dari fondasinya.

Dia mungkin masih memegang miniatur pesawat. Tetapi bila ia kelak menjadi guru, “pesawat” itu berubah makna: bukan lagi alat untuk terbang sendiri, melainkan simbol dari panggilan untuk mengantar generasi berikutnya mencapai langit mereka—dengan ilmu, karakter, dan keberanian.