Disadur oleh: Prof. Ir. H. Agus Pakpahan, Ph.D., MS. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)
Kita semua pernah mendengar bahwa koperasi adalah “sokoguru perekonomian Indonesia”—begitu dalilnya dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun jika ia benar-benar guru, mengapa murid-muridnya malah sibuk mengimpor ide dari Barat tanpa berpikir panjang? Sejarah mencatat bahwa gerakan koperasi dunia lahir dari tiga kandang berbeda—Rochdale, Raiffeisen, dan Mondragón—masing-masing dengan filosofi dan konteks lokal yang sangat berbeda, namun satu benang merah: koperasi yang berhasil tidak pernah copy-paste, melainkan mengakar kuat pada kultur lokalnya. Pertanyaannya: apakah koperasi Indonesia sudah belajar dari genealogi pemikiran ini, ataukah masih berkutat dengan ilusi bahwa resep asing bisa langsung manjur di tanah gotong royong?
Rochdale
Pada 1844, ketika Revolusi Industri menjadikan pekerja trampil di Inggris nyaris seperti ban bekas—dipakai habis lalu dibuang—sekelompok 28 pengrajin tekstil di kota Rochdale memutuskan bersatu. Mereka mengumpulkan modal £28, menyewa toko di Toad Lane, dan membuka koperasi konsumen yang menjual mentega, gula, tepung, dan oatmeal. Simpel? Jangan salah. Mereka merancang apa yang kemudian dikenal sebagai Rochdale Principles: keanggotaan terbuka, kontrol demokratis (one member, one vote), distribusi surplus sesuai transaksi, bunga modal terbatas, netralitas politik dan agama, perdagangan tunai, serta promosi pendidikan.
Prinsip-prinsip ini bukan sekadar aturan main—mereka adalah respons struktural terhadap eksploitasi kapitalisme industrial yang merajalela saat itu. Dalam tiga bulan, mereka sudah menjual teh dan tembakau; dalam setahun, jumlah anggota naik dari 28 menjadi 80 orang dengan modal £182. Pada 1900, gerakan koperasi Inggris sudah meluas ke 1.439 koperasi di seluruh negeri. Lesson learned: Rochdale sukses bukan karena mereka menciptakan utopia, melainkan karena mereka membangun sistem yang menjawab kebutuhan riil masyarakat industri Inggris pada zamannya.
Raiffeisen
Sementara Rochdale fokus pada konsumen urban, Friedrich Wilhelm Raiffeisen membidik lahan lain: petani miskin di pedesaan Jerman yang terlilit lintah darat. Terinspirasi oleh kelaparan musim dingin 1846/47, Raiffeisen mendirikan perkumpulan penyediaan roti dan buah, lalu pada 1864 ia meresmikan Heddesdorfer Spar- und Darlehnskassenverein—koperasi kredit pedesaan pertama yang menggunakan simpanan anggota untuk memberi pinjaman kepada anggota lain.
Berbeda dengan model koperasi urban Schulze-Delitzsch yang lebih dulu eksis, model Raiffeisen dirancang khusus untuk ekonomi agraris yang sumber dayanya terbatas dan jumlah anggotanya tidak sebanyak kota. Raiffeisen bahkan mendirikan bank sentral pedesaan pertama pada 1872 di Neuwied untuk menjamin likuiditas antar koperasi kredit kecil.
Filosofi dasarnya sederhana: self-help, bukan charity—organisasi harus mandiri, tidak bergantung pada donatur kaya. Model ini kemudian menyebar ke seluruh Jerman dan dunia, menjadi cikal bakal sistem credit union global. Raiffeisen membuktikan bahwa koperasi bukan monopoli kaum urban; ia bisa beradaptasi dengan logika ekonomi pedesaan, asalkan prinsipnya disesuaikan dengan konteks lokal.
Mondragón
Jika Rochdale dan Raiffeisen adalah kisah abad ke-19, Mondragón adalah bukti bahwa koperasi tetap relevan di abad ke-20—bahkan lebih radikal. Pada 1941, Pastor José María Arizmendiarrieta dikirim ke kota industrial Mondragón di Negara Basque, Spanyol, yang tengah didera pengangguran dan kemarahan sosial pasca-Perang Saudara Spanyol. Arizmendiarrieta, yang dipengaruhi kuat oleh Doktrin Sosial Katolik dan encyclical Rerum Novarum, tidak memilih jalan konvensional. Ia mendirikan sekolah politeknik pada 1943 dengan uang warga—fondasi demokratis sekolah ini dianggap sebagai benih gerakan koperasi Mondragón. Pada 1956, lima muridnya mendirikan koperasi pertama. Kini, Mondragón menjadi federasi lebih dari 250 koperasi dengan 83.000 pekerja.
Apa rahasianya? Mondragón tidak meniru Rochdale mentah-mentah. Ia mengintegrasikan filosofi Basque tentang solidaritas komunal (bertsolarism, pelote, gastronomi bersama), Katolik sosial yang menempatkan martabat manusia sebagai pusat, dan prinsip intercooperation—koperasi saling membantu, bukan bersaing.
Kesenjangan upah dijaga ketat, keuntungan diinvestasi ulang, dan pekerja adalah pemilik (socios) dengan hak suara penuh di Majelis Umum. Hasilnya: selama 60 tahun, hanya 5% dari 120 koperasi yang bangkrut, sementara pengangguran di Negara Basque 10% lebih rendah dari rata-rata nasional Spanyol yang kronis. Mondragón adalah contoh hidup: koperasi yang berakar pada kultur lokal—bukan impor ideologi—lebih tahan banting.
Paradoks Indonesia
Indonesia sebenarnya punya modal budaya luar biasa untuk gerakan koperasi: gotong royong. Sejak zaman kerajaan Nusantara, praktik mutual aid, sambatan, gugur gunung, dan kerja bakti sudah membudaya di desa-desa. Ini bukan sekadar tradisi; ini adalah epistemologi ekonomi yang berbasis solidaritas komunal, bukan akumulasi kapital individual.
Mohammad Hatta, bapak koperasi Indonesia, juga menegaskan bahwa koperasi harus berlandaskan nilai Pancasila—terutama asas kekeluargaan—dan pasal 33, 34, 37 UUD 1945. Namun, implementasinya ironis: koperasi Indonesia sering menjadi ajang “impor model” tanpa menggali tradisi lokal. Alih-alih mengadaptasi prinsip Rochdale atau Mondragón dengan jiwa gotong royong, banyak koperasi justru terjebak dalam birokratisme, ketergantungan subsidi pemerintah, dan mentalitas copy-paste yang kontraproduktif. Padahal, Mondragón membuktikan: adaptasi kontekstual adalah kunci—bukan adopsi mentah.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa gotong royong kini tergerus oleh logika transaksional dan prosedural yang dipaksakan dalam program Dana Desa, mengubahnya dari partisipasi sukarela menjadi pekerjaan berbayar yang berorientasi target administratif. Ironis, bukan? Tradisi yang seharusnya menjadi fondasi koperasi malah dirusak oleh kebijakan yang tidak memahami esensinya.
Koperasi yang Berakar
Genealogi pemikiran koperasi dari Rochdale ke Mondragón mengajarkan satu hal: koperasi yang sukses adalah koperasi yang embedded—tertanam dalam kultur, nilai, dan kebutuhan lokal. Rochdale merespons eksploitasi industri; Raiffeisen menjawab kesulitan petani; Mondragón mengintegrasikan Katolik sosial dan identitas Basque. Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Pertama, berhenti meniru model Barat tanpa filter.
Kedua, reaktivasi filosofi gotong royong sebagai epistemologi koperasi Indonesia—bukan sekadar slogan.
Ketiga, rancang sistem koperasi yang sesuai dengan struktur ekonomi lokal: pertanian, perikanan, UMKM berbasis komunitas.
Keempat, libatkan perempuan dan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan—seperti yang dilakukan Mondragón.
Terakhir, bangun jaringan intercooperation antar koperasi lokal, bukan hanya untuk berkompetisi dengan korporasi besar.
Koperasi Indonesia tidak butuh impor resep; ia butuh kembali ke akar—ke gotong royong, ke Pancasila, ke tradisi ekonomi komunal Nusantara yang sudah berumur ratusan tahun. Jika Mondragón bisa melakukannya dengan filosofi Basque, mengapa Indonesia tidak bisa dengan gotong royong?