Oleh: Prof. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)
Secara konstitusional, koperasi adalah pilar ekonomi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 mengaturnya secara formal. Bahkan ada kementerian khusus yang mengurusnya. Namun secara faktual, koperasi justru sering dipersepsikan negatif, dianggap lamban, tidak profesional, dan kurang relevan dalam ekonomi modern. Mengapa jurang antara idealisme dan realitas ini begitu lebar?
Untuk menjawabnya, kita perlu melampaui analisis teknokratis dan masuk ke ranah perilaku manusia, budaya, dan epistemologi. Di sinilah pemikiran Herbert Simon, Steve Jobs, para peraih Nobel Ekonomi, dan Mochtar Lubis memberikan cahaya.
Bounded Rationality dan Opportunisme: Koperasi dalam Dunia Para Satisficer
Herbert Simon menegaskan bahwa manusia bukanlah optimizer yang selalu mencari solusi terbaik, melainkan satisficer—pengambil keputusan yang cukup puas dengan solusi yang “cukup baik” dalam keterbatasan informasi dan kapasitas kognitif. Dalam koperasi, ini berarti anggota dan pengurus sering mengambil keputusan pragmatis, bukan strategis. Ditambah dengan perilaku oportunistik, koperasi menjadi arena kepentingan pribadi, bukan kolektif. Tanpa sistem pendidikan dan pembelajaran yang membentuk karakter koperatif, koperasi akan terus terjebak dalam siklus ini.
Stay Hungry, Stay Foolish: Mengapa Koperasi Kehilangan Semangat Kreatif?
Steve Jobs mengajak kita untuk stay hungry and stay foolish—jangan pernah merasa sudah pintar, dan jangan pernah puas. Ini adalah filosofi ketidakpuasan kreatif, yang mendorong inovasi dan keberanian melawan arus. Sayangnya, koperasi di Indonesia lebih didorong oleh kepuasan konsumtif daripada kepuasan kreatif. Pendidikan koperasi belum membentuk imajinasi, keberanian, dan semangat eksperimentasi. Di sinilah pentingnya menjadikan koperasi sebagai fokus pembelajaran di perguruan tinggi—bukan sekadar pelengkap kurikulum, tetapi sebagai medan intelektual dan laboratorium sosial.
Para Peraih Nobel Ekonomi dan Kegagalan Institusional Koperasi
Elinor Ostrom menunjukkan bahwa keberhasilan institusi kolektif bergantung pada rules-in-use yang dibentuk oleh komunitas. Di Indonesia, koperasi hanya memiliki rules-on-paper. Joseph Stiglitz menyoroti asimetri informasi yang merusak transparansi. Amartya Sen menekankan pentingnya kapabilitas, bukan sekadar distribusi. Daniel Kahneman mengingatkan bahwa bias kognitif dan ketakutan akan risiko membuat masyarakat enggan berpartisipasi aktif. Semua ini menunjukkan bahwa koperasi gagal bukan karena kurangnya regulasi, tetapi karena tidak adanya ekosistem pembelajaran yang membentuk pemahaman, karakter, dan kapabilitas koperatif.
Mochtar Lubis dan Karakter Bangsa: Tantangan Budaya dalam Koperasi
Mochtar Lubis menyebut karakter negatif bangsa Indonesia: munafik, enggan bertanggung jawab, percaya takhayul, dan feodal. Koperasi, sebagai sistem yang menuntut transparansi, kepemimpinan kolektif, dan partisipasi aktif, berbenturan langsung dengan karakter-karakter ini. Maka, pendidikan koperasi bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal pembentukan karakter dan budaya baru.
Urgensi Rumpun Keilmuan Perkoperasian yang Mandiri
Koperasi tidak akan berkembang jika terus diperlakukan sebagai instrumen kebijakan atau sekadar praktik ekonomi. Ia harus diakui sebagai rumpun keilmuan yang mandiri, dengan fondasi interdisipliner: ekonomi, hukum, sosiologi, psikologi, dan filsafat. Perguruan tinggi, khususnya yang berfokus pada koperasi, harus menjadikan perkoperasian sebagai fokus pembelajaran utama—bukan hanya sebagai mata kuliah tambahan, tetapi sebagai disiplin inti yang membentuk paradigma baru pembangunan.
Rumpun ilmu perkoperasian harus:
- Mengembangkan teori dan praktik koperasi yang kontekstual dan adaptif.
- Menjadi laboratorium sosial untuk inovasi ekonomi kolektif.
- Membentuk karakter dan kapabilitas anggota koperasi sebagai warga ekonomi yang aktif dan bertanggung jawab.
- Menjadi pusat produksi pengetahuan, bukan sekadar tempat pelatihan teknis.
Penutup: Jalan Menuju Ekonomi Kolektif yang Berkarakter
Koperasi adalah medan perjuangan antara rasionalitas terbatas, oportunisme, dan harapan kolektif. Jika kita ingin mengubahnya, kita harus stay foolish, stay hungry, dan stay cooperative—dengan ilmu, imajinasi, dan keberanian. Dan itu hanya mungkin jika kita membangun rumpun keilmuan perkoperasian yang mandiri, serta menjadikannya pusat pembelajaran di perguruan tinggi sebagai fondasi transformasi sosial-ekonomi Indonesia.