Oleh: Prof. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)
Sejarah bukan sekadar rangkaian tahun dan peristiwa. Ia adalah energi perjuangan yang mengalir dalam nadi setiap anak bangsa.
Mulai kapan perjuangan pemerdekaan berlangsung, kita mengetahuinya mulai sejak masa kedatangan bangsa-bangsa asing yang ingin mendapatkan kekayaannya dari bumi Ibu Pertiwi yang sekarang menjadi Indonesia. Banyak kisah heroik yang bisa kita catat, misalnya, mulai dari perlawanan Diponegoro, kisah pemerdekaan dari Tanam Paksa, hingga perang kemerdekaan, dan jeritan reformasi 1998: Indonesia berdiri di persimpangan, menjadi objek eksploitasi atau terus berjuang untuk merdeka sepenuhnya.
Hari ini, di tengah gemuruh persaingan global, kita diingatkan: tanpa berpegang teguh pada Pasal 33 UUD 1945, Indonesia terancam sirna. Bukan sirna secara geografis, tetapi sirna sebagai bangsa berdaulat yang bermartabat. Ini bukan hayalan, kejadian 1998 merupakan contoh Indonesia pernah kehilangan kedaulatan akibat utang luar negeri, bukan akibat kekalahan dalam perang fisik dengan negara lain.
- Sejarah: Cermin dan Bahan Bakar Perjuangan
Kolonialisme Belanda mengajarkan satu hal: ekonomi yang dikuasai segelintir konglomerat (asing) hanya melahirkan penderitaan. VOC menghisap rempah, cultuurstelsel merampas lahan, dan liberalisasi pasca-1998 mengorbankan 40 juta pekerja ter-PHK. Namun, dari puing-puing sejarah, kita menemukan pola: setiap kali rakyat bersatu dalam model kolektif (koperasi), di situlah kemandirian lahir.
1947: Koperasi Batik Tasikmalaya menjadi benteng melawan monopoli tekstil Belanda.
2023: Koperasi Keling Kumang di Kalimantan Barat membuktikan, sistem bagi hasil adil bisa menciptakan 600.000 orang sejahtera.
Ribuan triliun rupiah investasi rakyat jarang masuk kalkulasi, seperti berapa ribu triliun nilai ekonomi persawahan dan perkebunan ciptaan petani dengan menggunakan modal sendiri.
Sejarah bukan nostalgia. Ia adalah kompas.
- Pasal 33: Oksigen bagi Kedaulatan Ekonomi
Jika hari ini Indonesia kalah oleh Malaysia dalam pendapatan per kapita, dan disalip Vietnam dalam ekspor, itu karena kita melupakan roh Pasal 33. Ayat pertama Pasal itu jelas: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.” Bukan usaha konglomerat, bukan pula oligarki (asing).
● Fakta Pahit: 75% pasar Indonesia dikuasai beberapa perusahaan konglomerat saja, sementara 60 juta UMKM kesulitan akses modal.
● Solusi: Koperasi adalah alat untuk mendesentralisasi kekuatan ekonomi – dari konglomerasi ke kolektif.
Tanpa ini, Indonesia hanya akan jadi penonton di rumah sendiri.
- Negara Maju-Koperasi Maju: Bukan Mimpi, Tapi Keniscayaan
Di Jerman, Volkswagen awalnya adalah koperasi petani. Di AS, CHS Inc. (koperasi pertanian) memiliki pendapatan $47,9 miliar – mengalahkan BUMN Indonesia. Di Jepang, 99% petani tergabung dalam koperasi yang mengontrol harga beras nasional. Ini bukan teori. Ini fakta empiris: tidak ada negara maju yang berdiri di atas ekonomi konglomerasi semata.
Indonesia harus belajar:
● Skala: Koperasi harus besar, bukan sekadar warung desa.
● Teknologi: Blockchain, AI, dan energi terbarukan adalah senjata baru.
● Solidaritas: Keuntungan dibagi, risiko ditanggung bersama.
- Pembangunan sebagai Proses Pemerdekaan
Pembangunan bukan soal angka PDB atau gedung pencakar langit. Ia adalah proses pemerdekaan – seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945: “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.”
● Pertanian: Petani bukan lagi buruh di lahannya sendiri, tapi pemilik sah yang berdaulat dalam koperasi yang menjadi institusi perjuangan pemerdekaannya.
● Energi: Desa bukan konsumen pasif, tapi produsen listrik mandiri lewat koperasi PLTS dan sumber energi terbarukan lainnya.
● Industri: Pabrik bukan hanya milik taipan, tapi milik koperasi karyawan yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Banyak contoh di negara maju yang bisa dipelajari dan diteladani bagi Indonesia.
Inilah makna kemerdekaan sejati: ekonomi yang dibangun dari bawah, oleh rakyat, untuk rakyat.
Penutup
Indonesia 2045, tinggal 20 tahun lagi, perlu revolusi koperasi.
Pada 2045, Indonesia akan berusia 100 tahun. Di usia seabad, kita dihadapkan pada dua pilihan:
● Jalan Luruh: Terus jadi pasar bagi produk asing, sementara generasi muda menjadi buruh di negeri sendiri.
● Jalan Bangkit: Kembali ke Pasal 33, dengan koperasi sebagai pilar ekonomi, dan gotong royong sebagai DNA bangsa.
Pilihan ada di tangan kita. Sejarah telah membuktikan: setiap kali kita lupa pada akar persatuan, di situlah bencana datang. Tapi setiap kali kita bersatu – seperti koperasi-koperasi yang bertahan dari kolonialisme hingga krisis moneter – di situlah Indonesia menunjukkan kekuatannya.
Jayalah NKRI dengan Pasal 33 UUD ‘45 (koperasi). Karena hanya dengan cara ini, kita bisa menjawab janji kemerdekaan: “Sanggup dan sedia membela keadilan dan kebenaran.”
Merdeka!