Oleh: Dindin Najamudin, SE. (Kepala Bagian Pengembangan Akademik Universitas Koperasi Indonesia)
Di ujung gang sempit, jalan pintas menuju perumahan yang hanya cukup dilewati satu motor, berdirilah sebuah warung kecil. Menempel di pagar tembok tinggi rumah kosong. Tak mencolok. Tak menarik. Orang bisa saja melewatkannya tanpa tahu bahwa di dalamnya masih ada kehidupan yang bertahan.
Warung itu berdiri dari kayu-kayu bekas bongkaran rumah tetangga. Kayu yang sudah lapuk di beberapa bagian, mengeluarkan bunyi saat diinjak atau digeser. Atapnya dari genting tua yang telah bergeser, seolah bosan dan ingin pergi meninggalkan pemiliknya. Genting-genting itu tak lagi erat berpelukan satu sama lain, membiarkan hujan menetes pelan ke dalam ruang sempit di bawahnya, dan sisanya menghitam oleh jelaga. Dindingnya miring sedikit ke arah kanan, seperti siap ambruk kapan saja, namun entah bagaimana, setiap pagi selalu terbuka kembali.
Di warung itulah, seorang nenek renta duduk di bangku kayu kecil, nyaris sejajar dengan tanah. Tubuhnya membungkuk seperti padi tua, melengkung, rapuh tapi masih teguh berdiri, Rambutnya putih, berselang semburat hitam yang tampak seperti sisa-sisa waktu yang enggan pergi, wajahnya penuh lipatan-lipatan kulit yang tampak seperti peta waktu yang tak bisa dihapus. Di hadapannya menyala tungku kayu bakar yang sederhana, nyalanya kecil tapi cukup untuk menghangatkan wajan tanah liat kecil tempat serabi dimasak.
Serabi itu sederhana—hanya dari tepung beras, kelapa parut, dan sejumput garam. Tapi dari sanalah ia dan anak perempuannya hidup.
Leha, anak semata wayangnya yang masih tinggal, biasa membantu. Tubuh Leha kurus, seperti batang pisang yang kering. Kulitnya legam karena matahari, tangannya kasar karena terlalu sering mencuci, mengangkat, dan membantu ibunya berdagang. Mereka tinggal berdua di gang kecil seberang warung, di ruang kecil dengan satu kasur tua, satu lampu, dan beberapa lembar baju yang digantung seadanya.
Pagi itu, seperti biasa, warung mereka sudah terbuka sejak pukul lima. Udara dingin menembus celah-celah papan. Nenek duduk lebih dulu, menyiapkan bara di tungku.
“Mak, biar saya yang nyalain apinya,” kata Leha, muncul sambil mengikat rambut.
“Nggak usah, kamu kan baru pulang membantu mengangkat sayur di pasar. Istirahat dulu,” jawab si nenek tanpa menoleh, tangannya cekatan menyusun kayu bakar.
Leha mendesah. Ia tahu, ibunya keras kepala. Tapi bukan hanya keras kepala—ibunya takut kalah oleh hari. Takut kalau tubuhnya berhenti bergerak, maka semuanya akan berhenti juga.
Tak lama, aroma serabi mulai memenuhi udara. Beberapa pelanggan mulai berdatangan, duduk di bangku kayu di sisi warung. Di antaranya seorang lelaki muda yang selalu datang di hari Sabtu.
“Pagi, Mak… Teh Leha,” sapanya.
“Pagi, A. Seperti biasa dua serabi ya?”
“Iya. Mak, saya boleh tanya?”
Nenek tersenyum tipis. “Jangan nanya yang susah ya!.”
“Nenek umur berapa sekarang?”
Ia tertawa kecil, batuk sebentar karena asap. “Tak tahu A, Pasti lebih tua dari warung ini.”
“Nenek tinggal cuma berdua sama Teh Leha?”
Leha menjawab kali ini, sambil membalik serabi. “Iya. Bapak sudah lama meninggal. Adik saya ke kota, katanya cari kerja. Tapi setelah itu nggak pernah kirim kabar.”
Lelaki muda itu mengangguk pelan. Matanya menatap ke arah nenek yang sedang menyeka peluh dengan punggung tangannya.
“Hidup begini terus ya, Mak?”
“Kami bukan memilih hidup begini, A. Tapi kadang hidup tidak kasih pilihan,” jawab nenek tenang, tapi nadanya getir.
Leha menyambung pelan, “Serabi ini… kadang laku, kadang tidak. Kadang kalau tidak laku, kami makan sisanya. Kalau nggak ada sisa, ya kami tidur saja.”
Serabi matang diletakkan di atas daun pisang, uapnya hangat, mengisi celah-celah pagi yang kosong.
Lelaki muda itu menerimanya dengan dua tangan, penuh rasa hormat pada kesederhanaan yang tersaji.
Ia mendekatkan serabi ke wajahnya, merasakan aroma yang mengepul melalui uap hangat yang lembut. Uap itu naik perlahan dan menyapu kacamatanya, membuatnya buram untuk sesaat—seolah dunia ikut memudar, menyisakan hanya hangat, kelapa, dan kenangan masa kecil.
“Enak… seperti biasa,” katanya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Lelaki muda itu membayar lebih, lalu pamit. Nenek menatap uangnya, lalu mengusapnya pelan, menempelkan lembaran biru itu ke keningnya, matanya terpejam, seperti sedang mengucap terima kasih dalam diam.
Menjelang siang, hujan turun. Deras. Pelanggan tak datang. Air merembes dari sudut atap yang bocor. Leha memindahkan adonan ke wadah, menutupnya dengan kain tipis.
Nenek duduk diam di sudut, kakinya diselimuti sarung lusuh. Ia batuk—batuk kering yang makin sering datang. Leha menoleh, lalu duduk di sebelah ibunya. Ia mengambil tangan ibunya dan menggenggamnya erat.
“Mak, kalau nanti saya sendirian… saya harus gimana?”
Nenek tidak menjawab. Ia hanya menoleh, matanya buram oleh usia dan asap, tapi masih menatap dengan penuh.
“Kamu nggak sendirian, Leha. Kamu punya serabi. Kamu punya pagi. Kamu punya langit. Kadang itu cukup.”
Leha menangis pelan, tanpa suara. Air mata mengalir di pipi kotor dan letihnya. Di luar, hujan terus turun. Tapi di tungku, bara belum padam.
Dan di warung tua itu, kehidupan masih bertahan. Meski rapuh. Tapi belum hancur. Belum.
Hanya menunggu.