Oleh: Dindin Najamudin, SE. (Kepala Bagian Pengembangan Akademik Universitas Koperasi Mahasiswa)

Setiap malam, ketika suara jangkrik mulai terdengar dan langit berubah menjadi kelabu pekat, Rian baru memulai rutinitas yang tidak biasa bagi anak seusianya. Ia bukan sedang bermain atau menonton televisi. Ia duduk bersila di lantai dapur yang hangat oleh uap kukusan, membantu ibunya mengemas jajanan kecil yang baru selesai dibuat.

“Bu, kue tambang tiga puluh bungkus. Kue donatnya rusak dua, jadi sisanya cuma empat puluh delapan,” ucap Rian sambil mencatat dengan pensil di sobekan kardus.

“Yang nggak bagus jangan dimasukin, ya. Buat kita aja,” ucap ibu sambil menuang nasi ketan dari kukusan.

Belajar hanya ia lakukan kalau ada pekerjaan rumah. Tak sempat menyalin catatan atau menghafal materi pelajaran, karena malam-malamnya penuh dengan aroma tepung, minyak, dan plastik mika.

Tapi ia tidak pernah mengeluh.

Karena ia tahu, semua ini bukan hanya tentang jualan. Ini tentang bertahan. Tentang hidup.

Setiap malam, sebelum tidur, Rian memastikan semua jajanan sudah dikemas rapi dan jumlahnya sesuai. Kadang matanya berat, tapi ia tahu, pagi-pagi sekali ia harus ikut ke Pasar Cicaheum, bersama ibunya—dan ayahnya.

Pukul 04.00 pagi, ketika kebanyakan rumah masih sunyi dan lampu-lampu masih temaram, Rian sudah bangun. Ia membantu ibunya membungkus dus-dus besar berisi jajanan. Ayahnya, yang bekerja sebagai sopir angkutan antar kota, sudah memanaskan mesin mobil di halaman rumah.

Setelah semua kemasan selesai, mereka membaginya ke dalam dua bagian: satu untuk dititipkan ke pasar Cicaheum, satu lagi untuk dititipkan di kantin sekolah Rian.

Biasanya, pagi-pagi sekali sambil berangkat sekolah, sang adiklah yang membawa dus kecil berisi donat, lemper, dan combro ke kantin sekolah. Ia sudah hafal siapa penjaga kantin, dan tempat jajanan ibunya biasa ditaruh.

Mereka bertiga tak banyak bicara. Rian membantu mengangkat dus ke bagian belakang mobil. Bau bensin dan dinginnya pagi menampar lembut kulit mereka. Lalu mereka berangkat bertiga—ibu, anak, dan ayah—menuju terminal Cicaheum.

Tujuan ayahnya sederhana: ngetem subuh-subuh agar dapat nomor antrian pertama. Kalau terlalu siang, angkutannya bisa sepi penumpang. Semua dilakukan demi satu-dua penumpang lebih awal, demi rupiah pertama yang menentukan isi dapur.

Di terminal, Rian dan ibunya turun. Ibu mulai berkeliling, menitipkan jajanan ke beberapa warung dan lapak di pinggir pasar. Sementara Rian dan ayahnya menunggu di dekat tempat ngetem, di sudut yang selalu ramai dengan aroma ketan bakar dan kopi hitam.

“Yan, sarapan dulu, nanti masuk angin,” kata ayahnya sambil menyerahkan sebungkus ketan bakar dari warung langganan.

Rian duduk di bangku panjang dari kayu. Mereka menghangatkan tangan di dekat tungku arang penjual ketan. Di sana, mereka duduk berdua, diam tapi hangat, sambil mengamati langit yang mulai membiru perlahan.

“Besok kamu ujian, kan?” tanya ayahnya pelan.

“Iya, Yah. Tapi tenang aja, Rian udah baca sekilas tadi malam, waktu nunggu ketan dingin,” jawab Rian sambil tersenyum.

Ayahnya hanya mengangguk. Di matanya ada bangga yang tak terucap. Anak sekecil itu, sudah tahu arti kerja keras dan tanggung jawab.

Sekolah bukan tempat Rian bersinar dengan prestasi akademik gemilang. Tapi guru-gurunya tahu, ia anak yang rajin, jujur, dan tak pernah mengeluh. Nilainya cukup baik. Bukan karena ia banyak belajar, tapi karena ia belajar dari kehidupan.

Ketika teman-temannya sibuk les atau mengerjakan latihan soal, Rian belajar menghitung keuntungan, menghafal jumlah pesanan, dan menyusun kemasan agar tidak mudah rusak di jalan.

Ia belajar logika dari dapur.

Belajar disiplin dari subuh di terminal.

Belajar cinta dari tangan ibunya yang kasar karena minyak panas.

Dan belajar diam-diam bahwa hidup bukan harus mudah, tapi harus berarti.

Suatu pagi, ketika Rian dan ayahnya kembali duduk di dekat arang ketan bakar, ia berkata, “Yah, nanti kalau aku udah besar, aku mau bantu Ibu jualan, tapi jualannya di toko sendiri.”

Ayahnya terdiam, menatap wajah kecil itu yang kini mulai terlihat matang.

“Boleh, Yan. Tapi kamu harus sekolah yang bener dulu. Supaya nanti kamu punya toko… tapi juga ngerti cara menjalankannya.”

Rian mengangguk, lalu memakan ketan bakarnya dengan semangat baru.

Di tempat yang sederhana itu—di antara embun subuh dan arang yang menyala pelan—hidup seorang anak yang tumbuh bukan hanya dengan makanan bergizi, tapi dengan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan lewat ketan bakar dan tempat ngetem.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL