Oleh: Prof. Ir. H. Agus Pakpahan, Ph.D., MS. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)
[05.16, 3/11/2025] Pak Agus Pakpahan: LAKON: Keling Kumang – Koperasi Kuantum dari Hutan Borneo
Tema: Kedaulatan Tanpa Utang, Teknologi dari Tanah Sendiri, Petani Quantum Mendirikan Kampus
Oleh: Agus Pakpahan
🧙 TOKOH UTAMA
- Semar – Narator spiritual, penjaga nilai
- Cepot, Dawala, Gareng – Punakawan, penggali makna dan penguji sistem
- Yudhistira, Bima, Arjuna – Pandawa, simbol kebijaksanaan, kekuatan, dan inovasi
- Duryudana, Sengkuni – Astina, simbol birokrasi dan oligarki
- Keling Kumang – Tokoh mitologis Dayak, penjelmaan koperasi kuantum
🕊️ PROLOG – Semar
“Di tengah hutan Kalimantan, lahir bukan hanya pohon, tapi peradaban. Namanya Keling Kumang. Ia bukan raja, bukan menteri, bukan korporasi. Ia adalah koperasi. Tapi bukan koperasi biasa. Ia hidup, ia bernafas, ia berdoa. Ia adalah koperasi kuantum. Dan yang paling ajaib: ia tumbuh besar tanpa utang ke bank, apalagi utang luar negeri. Semua modal berasal dari anggota sendiri.”
🎙️ ADEGAN 1 – Punakawan Menemukan Keling Kumang
Cepot
“Wah, Dawala, ini koperasi kok punya hotel, bengkel, sekolah, bahkan santunan nikah dan kelahiran. Ini koperasi atau kerajaan?”
Dawala
“Saya kira koperasi cuma tempat nabung. Tapi ini… ada roh, ada ritual, ada resonansi!”
Gareng
“Dan katanya, semua ini dibangun tanpa utang ke bank. Tanpa utang luar negeri. Lah, kok bisa?”
🎙️ ADEGAN 2 – Pandawa Mengkaji
Yudhistira
“Keling Kumang adalah dharma ekonomi. Ia tidak mengejar profit, tapi kesejahteraan kolektif. Ia tumbuh dari tabungan rakyat, bukan dari utang lembaga asing.”
Bima
“Ia kuat karena berakar. Ia tidak tergantung pada investor, tapi pada gotong royong. Tidak ada utang bank, tidak ada utang luar negeri. Ini koperasi merdeka!”
Arjuna
“Ia punya aplikasi, tapi juga punya doa. Ia digital, tapi juga spiritual. Dikelola oleh 17 ahli IT lokal. Inilah koperasi masa depan!”
💻 ADEGAN 3 – Teknologi dari Tanah Sendiri
Cepot
“Lah, jadi koperasi ini punya tim IT sendiri? Bukan pakai aplikasi dari Jakarta?”
Gareng
“Betul, Kang. Mereka bikin sistem keuangan, sistem keanggotaan, bahkan sistem pendidikan digital sendiri. Ini bukan koperasi yang gaptek. Ini koperasi yang melek digital, tapi tetap berakar.”
Semar
“Inilah koperasi kuantum. Ia tidak hanya punya lumbung padi, tapi juga lumbung data. Dan semua dikelola sendiri—tanpa utang, tanpa vendor asing, tanpa ketergantungan.”
🌾 ADEGAN 4 – Petani Quantum Mendirikan Kampus
Semar
“Jangan kira petani itu hanya tahu cangkul dan pupuk. Di Kalimantan, 72% anggota koperasi Keling Kumang adalah petani sederhana. Tapi cara berpikir mereka sudah quantum. Mereka tidak hanya menanam padi, tapi juga menanam masa depan. Buktinya? Mereka mendirikan perguruan tinggi sendiri: Institut Teknologi Keling Kumang, di Sekadau.”
Dawala
“Kampus itu bukan dibangun dari utang, bukan dari proyek luar negeri. Tapi dari tabungan anggota. Dari gotong royong. Dari mimpi yang ditanam bersama.”
Cepot
“Petani punya kampus? Bukan cuma punya sawah? Wah, ini petani quantum!”
😈 ADEGAN 5 – Astina Menolak
Duryudana
“Koperasi seperti itu terlalu bebas. Harus tunduk pada UU, pada izin, pada sistem kami!”
Sengkuni
“Kalau semua desa punya koperasi seperti Keling Kumang, oligarki bisa runtuh! Apalagi kalau mereka tidak bergantung pada utang!”
🔥 ADEGAN 6 – Sidang Rakyat Dayak
Keling Kumang (diperankan oleh Semar dalam wujud perempuan)
“Kami tidak minta izin untuk hidup. Kami hidup karena kami saling percaya. Koperasi kami bukan sekadar lembaga. Ia adalah tubuh kami, jiwa kami, tanah kami. Dan kami tidak berutang pada siapa pun. Kami hanya berutang pada leluhur.”
Semar
“Inilah koperasi kuantum. Ia tidak bisa diukur dengan neraca, tapi dengan resonansi. Ia tidak tunduk pada pasar, tapi pada kehidupan. Dan ia tidak tunduk pada u…
[05.16, 3/11/2025] Pak Agus Pakpahan: MENGHIDUPKAN KEMBALI KOPERASI DI BUMI PERTIWI #9
BARETONG, MBG DAN KOPERASI MERAH PUTIH *)
GWS, 3 November 2025
Ada ironi yang lucu sekaligus tragis dalam sejarah ekonomi Indonesia: kita adalah bangsa yang sangat mahir menulis konstitusi tentang ekonomi kerakyatan, namun sangat payah menjalankannya. Pasal 33 UUD 1945 sudah tegas menyebut koperasi sebagai sokoguru perekonomian, tetapi hingga 2024, kontribusi koperasi ke PDB kita masih berkutat di angka 0,97-1,17 persen—lebih kecil dari kontribusi industri rokok. Sementara itu, ratusan ribu petani masih terjebak dalam cengkeraman tengkulak, ibu-ibu hamil di pelosok masih kekurangan gizi, dan anak-anak sekolah masih makan seadanya.
Lalu pada 21 Juli 2025, di Desa Bentangan, Klaten—bukan di Jakarta dengan g…
[08.10, 3/11/2025] Pak Agus Pakpahan: Kewajiban Negara Melahirkan, Mengembangkan, dan Memajukan Ilmu Koperasi sebagai Amanat Pasal 33 UUD 1945
Oleh: Agus Pakpahan
Di sanubari bangsa ini, tersimpan sebuah memori kolektif. Bukan memori tentang pedang atau puing perang, melainkan tentang gotong royong. Sebuah tenaga halus namun dahsyat yang mengalir dari pelosok desa ke kota, menyatukan jutaan tangan, memadukan jutaan hati, untuk satu cita-cara: Merdeka.
Kemerdekaan kita adalah karya agung dari energi gotong royong ini; sebuah lompatan kesadaran yang membuktikan bahwa ketika rakyat bersatu, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikannya.
Para leluhur pendiri bangsa kita adalah para pemimpi yang visioner. Mereka tidak mencontek mimpi bangsa lain. Mereka merenung, menyelami jiwa Nusantara, dan menemukan intisarinya: kekeluargaan. Maka, mereka menuliskannya bukan sebagai slogan, melainkan sebagai roh dalam konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 adalah piagam sakral yang menyatakan bahwa perekonomian kita harus bernapaskan kekeluargaan. Dan koperasi adalah jiwa dari napas itu. Ia adalah bentuk nyata dari cita-cita kemerdekaan di bidang ekonomi.
Namun, ada sebuah paradoks besar yang menggerogoti janji konstitusi kita.
Kita memiliki Pasal 33, tetapi kita tidak memiliki Ilmu Koperasi.
Kita memuja gotong royong, tetapi kita tidak mengajarkannya di perguruan tinggi.
Kita berbicara tentang kedaulatan ekonomi, tetapi kita tidak melahirkan para sarjana, doktor, atau profesor yang mendedikasikan hidupnya untuk ilmu koperasi.
Negara seolah menunggu ilmu ini turun dari langit, seperti menunggu hujan di musim kemarau. Padahal, negara harus menjadi petani yang aktif bercocok tanam. Seperti Newton yang dengan sengaja merenungkan jatuhnya apel hingga merumuskan gravitasi, negara harus dengan sengaja merenungkan, meneliti, dan merumuskan “hukum gravitasi sosial” dari koperasi rakyat. Negara wajib menjadi sang “Ibu” yang melahirkan ilmu koperasi, bukan menjadi penonton yang pasif apalagi berpaling atau bahkan merendahkannya..
Ilmu koperasi bukanlah ilmu biasa. Ia adalah ilmu tentang kehidupan, tentang resonansi, tentang kepercayaan. Ia tidak bisa dipahami dengan kalkulator dan grafik pasar modal semata. Ia memerlukan pendekatan “kuantum”—sebuah cara pandang yang melihat keterhubungan yang tak terlihat: antara pemimpin dan anggota, antara untung dan ruginya bersama, antara transaksi ekonomi dan ikatan sosial. Lihatlah Rabobank di Belanda, yang berdiri kokoh di atas fondasi kepercayaan petani. Atau Koperasi Keling Kumang di Kalimantan, yang bukan sekadar kumpulan modal, melainkan sebuah keluarga besar yang menjalankan laku hidup bersama-gotong royong.
Oleh karena itu, panggilan ini adalah panggilan jiwa untuk para pemimpin Indonesia.
Ciptakanlah Universitas Koperasi. Jadikan ia rumah besar pengetahuan tempat nilai-nilai gotong royong dikodifikasi, dikembangkan, dan diwariskan.
Lahirkanlah Ribuan Ilmuwan Koperasi.Jadikan mereka para “pengusung obor” yang akan menerangi jalan menuju ekonomi berkeadilan.
Bangunlah Ekosistem Pengetahuan Koperasi. Hubungkan kampus-kampus dengan koperasi-koperasi riil di lapangan, sehingga teori lahir dari praktek, dan praktek disinari oleh teori.
Ini bukan sekadar tugas administratif. Ini adalah tugas sejarah. Ini adalah bentuk kesetiaan tertinggi pada konstitusi dan pada ruh kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Kemerdekaan adalah gotong royong. Gotong royong adalah koperasi. Koperasi adalah ilmu. Dan ilmu adalah tugas negara untuk melahirkannya.
Para pemimpin Indonesia, jadilah bukan hanya pengelola negara, tetapi Bapak dan Ibu Bangsa yang memastikan bahwa anak-anak kandung konstitusi—yaitu Koperasi—tumbuh kuat, cerdas, dan berjaya. Lahirkanlah ilmu untuknya, agar ia tak lagi menjadi yatim piatu di negeri sendiri.