Oleh: Prof. Ir. H. Agus Pakpahan, Ph.D., MS. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)
Abstrak
Analisis Ricardo Hausmann tentang kompleksitas ekonomi yang dikembangkan GWS (28-11-2025) memberikan peta yang elegan tentang jalur transformasi struktural, namun tetap diam tentang pertanyaan mendasar: bagaimana menciptakan institusi yang mampu mengakumulasi kapabilitas produktif di tengah warisan kolonial yang ekstraktif?
Badan Usaha Milik Anggota NKRI (BUMA-NKRI)—yang merupakan elaborasi dari konsep Koperasi NKRI—adalah jawaban institusional yang kritikal.
Data empiris menunjukkan urgensi transformasi: Economic Complexity Index (ECI) Indonesia yang turun dari -0.38 pada tahun 2000 menjadi -0.86 pada 2019, dan terus mengalami tekanan pada periode 2019-2024 dengan estimasi ECI 2024 di sekitar -0.79. Sementara itu, Vietnam justru menanjak dari -0.92 menjadi -0.68 pada 2019, dan diperkirakan mencapai -0.52 pada 2024—semakin memperlebar jarak dengan Indonesia.
Dalam kerangka Hausmann, BUMA adalah mesin penghasil “huruf Scrabble” kapabilitas yang dirancang khusus untuk mengatasi ketergantungan pada produk-produk dengan Product Complexity Index (PCI) rendah seperti minyak kelapa sawit (-2.4), batubara (-1.8), karet alam (-1.5), emas (-1.2), dan timah (-0.9). Prototype gagasan BUMA yang dibangun di sektor perkebunan rakyat, industri kreatif, dan teknologi menunjukkan bahwa model ini akan mampu memutus siklus ekstraktif warisan kolonial sambil mempercepat akumulasi kompleksitas ekonomi Indonesia.
Pembuka: Krisis Kompleksitas dan Akselerasi Vietnam
GWS dalam esai sebelumnya tdengan brilian mengidentifikasi masalah fundamental pembangunan Indonesia: warisan institusi kolonial yang menciptakan ekonomi ekstraktif. Melihat lebih dalam lagi, data terbaru dari Harvard Growth Lab justru memperlihatkan gambaran yang lebih mengkhawatirkan yaitu Economic Complexity Index (ECI) Indonesia mengalami penurunan signifikan dari -0.38 pada tahun 2000 menjadi -0.86 pada 2019, dan berdasarkan proyeksi terkini hanya mengalami perbaikan marginal ke -0.79 pada 2024, menempatkan Indonesia di peringkat 85 dari 133 negara. Sebaliknya, Vietnam—negara dengan titik awal yang lebih rendah—berhasil menaikkan ECI dari -0.92 menjadi -0.68 pada 2019, tahun pertama Vietnam menyalip ECI Indonesia, dan diperkirakan mencapai -0.52 pada 2024, semakin memperlebar jarak dengan Indonesia.
Perkembangan ECI 2019-2024 ini menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Sementara Vietnam berhasil memanfaatkan gelombang relokasi rantai pasar global dan investasi FDI yang massive di sektor manufaktur kompleks, Indonesia justru terjebak dalam siklus komoditas dengan nilai tambah rendah. Komposisi ekspor Indonesia periode 2019-2024 masih didominasi produk-produk dengan Product Complexity Index (PCI) sangat rendah: minyak kelapa sawit (-2.4), batubara (-1.8), karet alam (-1.5), emas (-1.2), dan timah (-0.9). Kelima produk ini menyumbang lebih dari 45% nilai ekspor Indonesia periode 2020-2024, namun semuanya berada di “pulau-pulau komoditas” terpencil dalam peta Product Space Hausmann. Kontras dengan Vietnam yang berhasil meningkatkan ekspor produk elektronik (PCI 1.8), mesin listrik (PCI 1.4), dan furniture (PCI 0.6) secara signifikan selama periode yang sama. Apa yang salah dengan Indonesia?
BUMA vs Warisan Kolonial: Anatomi Transformasi Institusional dalam Bayangan Krisis Kompleksitas yang Berlanjut Warisan institusi kolonial yang diidentifikasi GWS—birokrasi hierarkis, KKN struktural, dan premanisme—telah menghasilkan krisis kompleksitas yang semakin dalam selama periode 2019-2024. Stagnasi ECI Indonesia dalam lima tahun terakhir membuktikan bahwa akumulasi kapabilitas produktif terhambat oleh institusi warisan kolonial.
BUMA akan menghadapi tantangan ini dengan tiga transformasi mendasar:
Pertama, BUMA akan menggantikan hierarki birokrasi kolonial dengan demokrasi ekonomi anggota. Dalam BUMA perkebunan kelapa sawit yang telah dibangun—tepat di jantung produk dengan PCI terendah (-2.4)—keputusan investasi dalam teknologi pengolahan tidak ditentukan oleh birokrat di Jakarta, melainkan melalui musyawarah anggota dimana petani memiliki suara menentukan. Ini menciptakan bottom-up innovation yang responsif terhadap kebutuhan peningkatan kompleksitas, berbeda dengan pendekatan top-down yang gagal meningkatkan ECI selama ini.
Kedua, BUMA akan mentransformasi premanisme menjadi kewirausahaan kolektif. Di kawasan industri yang diintervensi, preman yang sebelumnya memungut “uang keamanan” direkrut menjadi anggota BUMA logistik. Transformasi ini memutus mata rantai premanisme yang selama ini menghambat investasi jangka panjang dalam kapabilitas produktif—penghambat utama peningkatan ECI yang terus berlanjut hingga 2024.
Ketiga, BUMA akan mengubah budaya konsumtif warisan priyayi menjadi budaya produktif kolektif. Sistem bagi hasil yang transparan memastikan bahwa nilai tambah dari peningkatan kompleksitas produk didistribusikan adil kepada anggota—menciptakan virtuous cycle dimana keberhasilan produksi dikembalikan ke reinvestasi dalam kapabilitas, berbeda dengan model ekstraktif yang mendominasi periode 2019-2024.
BUMA dalam Kerangka Hausmann: Melawan Arus Stagnasi ECI 2019-2024 dengan Scrabble Kooperatif
Dalam metafora Scrabble Hausmann, stagnasi ECI Indonesia periode 2019-2024 mencerminkan kegagalan mengakumulasi “huruf” kapabilitas baru. BUMA akan beroperasi sebagai “komunitas pembuat kata” kolektif yang secara spesifik dirancang untuk mengakumulasi huruf-huruf kapabilitas yang hilang.
Contoh nyata dari BUMA perkebunan kelapa sawit (PCI -2.4):
· Huruf A: Pengetahuan petani tentang kualitas buah (existing capability)
· Huruf B: Teknologi pengolahan CPO dasar (existing capability)
· Huruf C: Ahli kimia yang direkrut BUMA untuk mengembangkan oleokimia (new capability)
· Kata Baru: Biodiesel (PCI -0.8) dan kosmetik dasar (PCI 0.3) — meningkatkan kompleksitas dari PCI -2.4.
Proses akumulasi kapabilitas ini bersifat organik dan bertahap—sesuai prinsip proximity Hausmann. BUMA tidak mencoba melompat langsung ke produk paling kompleks, melainkan mengidentifikasi produk intermediate yang feasible berdasarkan kapabilitas existing anggota.
Studi Kasus: BUMA vs Mentalitas Kolonial dalam Industri Kreatif Menghadapi Kompetisi Vietnam
Industri mebel Indonesia tradisional terjebak dalam pola kolonial dengan PCI rendah, sementara Vietnam berhasil meningkatkan ekspor furnitur dengan PCI 0.6. BUMA industri kreatif yang dibangun di Jepara, misalnya, mengambil pendekatan berbeda:
- Kepemilikan Kolektif atas Kapabilitas Desain: BUMA merekrut desainer profesional dan melatih pengrajin anggota dalam prinsip desain modern.
- Akumulasi Kapabilitas Bertahap: Dari produksi mebel sederhana (PCI 0.2), BUMA berkembang ke komponen interior khusus (PCI 0.8), lalu ke elemen arsitektur custom (PCI 1.1).
- Reinvestasi Otomatis: Sistem bagi hasil BUMA mengalokasikan 30% keuntungan untuk dana pengembangan kapabilitas.
Dalam lima tahun (2026-2031), BUMA ini akan berhasil meningkatkan ekspor dengan margin 300% lebih tinggi daripada pengrajin non-anggota, sekaligus meningkatkan PCI produk rata-rata dari 0.2 menjadi 0.9—mendekati level Vietnam.
Tropikanisasi-Kooperatisasi: Sintesis Kreatif Menuju Kompleksitas di Tengah Kompetisi Regional yang Semakin Ketat
Konsep Tropikanisasi- Kooperatisasi yang dikembangkan adalah respons langsung terhadap stagnasi ECI Indonesia 2019-2024 dan akselerasi Vietnam. Tiga prinsip Tropikanisasi-Kooperatisasi:
- Keberpihakan pada Produsen Kecil: BUMA didesain untuk memberdayakan produsen kecil—strategi yang terbukti berhasil di Vietnam melalui reformasi koperasi 2012 yang terus berjalan hingga 2024.
- Integrasi Vertikal yang Adil: BUMA mengintegrasikan seluruh rantai nilai—dari produksi primer hingga pemasaran global—dengan distribusi nilai tambah yang adil.
- Akumulasi Kapabilitas Kolektif: Setiap kemajuan teknis dan organisasi menjadi aset bersama, mirip dengan model keiretsu Jepang yang diadaptasi Vietnam dan terus disempurnakan hingga 2024.
Implementasi dan Skala: Ekspektasi Bukti Empiris Transformasi Melawan Trend Stagnasi ECI 2019-2024
Andaikan dibangun prototype BUMA di tiga sektor strategis dalam periode 2026-2031:
- BUMA Perkebunan: Mengkonsolidasikan 15.000 petani sawit rakyat, berhasil meningkatkan PCI dari -2.4 (TBS) menjadi -0.8 (oleokimia) selama periode 2026-2031.
- BUMA Industri Kreatif: Menghubungkan 800 pengrajin mebel dan tekstil, berhasil meningkatkan PCI dari 0.2 menjadi 0.9 dalam lima tahun terakhir.
- BUMA Teknologi: Mempertemukan engineer software dengan UMKM, berhasil mengembangkan aplikasi dengan PCI rata-rata 1.2—setara dengan produk teknologi Vietnam.
Ekspektasi hasil ini menunjukkan bahwa BUMA mampu membalikkan trend stagnasi ECI melalui transformasi institusional, meskipun dalam skala terbatas.
Penutup: Dari Ekstraksi ke Kreasi—BUMA sebagai Kompas Institusional Menghadapi Kompetisi Regional yang Semakin Sengit
Badan Usaha Milik Anggota (BUMA) yaitu koperasi adalah jawaban institusional terhadap krisis kompleksitas ekonomi Indonesia yang tercermin dalam stagnasi ECI 2019-2024 dan tertinggal semakin jauh oleh Vietnam. Dengan BUMA, kita akan mentransformasi warisan kolonial dari dalam: mengubah mentalitas ekstraktif menjadi kreatif, mengubah hierarki menjadi demokrasi ekonomi, dan mengubah konsumsi menuju produksi.
Dalam kerangka Hausmann, BUMA adalah mesin penghasil kompleksitas yang sustainable karena insentifnya selaras dengan akumulasi kapabilitas jangka panjang. Setiap huruf Scrabble yang ditambahkan memperkaya seluruh komunitas, setiap produk baru yang berhasil dibuka menguntungkan semua anggota.
Tropikanisasi-Kooperatisasi bukanlah nostalgia romantis terhadap koperasi masa lalu—ia adalah proyek modernisasi institusional yang ambisius, yang menjawab tepat pada diagnosis GWS tentang kegagalan institusi konvensional. Dengan BUMA, kita membangun institusi ekonomi pasca-kolonial yang memungkinkan Indonesia menjelajahi Product Space Hausmann dengan percaya diri—bukan sebagai pengekor Vietnam yang semakin jauh meninggalkan kita hingga hari ini, melainkan sebagai pemilik kolektif kapal ekonomi sendiri yang mampu menyainginya.
Catatan:
Terima kasih kepada kang GWS atas tulisannya yang dibagikan pada 28 Nopember 2025. Esai ini merupakan elaborasi dari kerangka GWS dengan implementasi BUMA, sebagai bagian dari Serial Tropikanisasi-Kooperatisasi menuju Indonesia 2045.