Oleh: Dindin Najamudin, SE. (Kapala Bagian Akademik dan Kurikulum)

Hujan rintik-rintik turun membasahi tanah perkebunan yang gelap dan basah di kaki Gunung Manglayang. Kabut perlahan merayap di antara pohon-pohon karet yang berdiri diam, seperti barisan orang letih yang menunggu giliran pulang. Dari kejauhan, suara lolongan anjing terdengar terputus-putus, menambah kesan sunyi yang menekan, seolah ada sesuatu yang tidak beres di tengah malam itu.

Di ambang pintu sebuah bangunan kecil beratap rumbia — Balé Simpenan, tempat biasa menyimpan catatan hasil panen dan sesekali dijadikan tempat berteduh atau memeriksa hasil panen oleh sang tuan tanah Prancis berdarah Jerman, yang telah lama menetap di Hindia Belanda: Baron Ludwik Baud, — berdirilah seorang pria dengan tubuh kaku dan pandangan kosong: Mandor Sura. Tapi malam ini, bukan lembaran laporan atau peti peralatan kerja yang terhampar di lantai papan. Di sana ada noda darah yang belum kering, dan sehelai robekan kain merah tergeletak di dekatnya, diam membisu seperti saksi bisu dari kemarahan yang meledak tanpa kendali.

Tubuh Sura gemetar, meski seragam lusuh berwarna khakinya masih kering. Nyi Malati, istrinya yang muda dan cantik, telah ia gendong dalam diam, yang akan dibawanya melewati jalan setapak yang licin dan sunyi menuju danau kecil, tersembunyi di belakang perkebunan.

Ia menutup pintu balé pelan-pelan. Engselnya berderit panjang, membuat bulu kuduk sedikit meremang. Dari arah danau, angin malam bertiup membawa bau logam yang tajam—entah dari air, atau sesuatu yang lebih gelap. Malam itu juga, pohon karet paling tua di tepi danau — pohon tempat Nyi Malati biasa berteduh sambil melantunkan kawih lirih— menjatuhkan semua daunnya. Getahnya menetes satu per satu ke tanah, seperti darah dari luka yang menganga.

“Maafkan aku…” bisik Sura lirih. Tapi bukan pada Tuhan kata itu ditujukan — melainkan pada perempuan yang pernah ia cintai. Atau mungkin, perempuan yang hanya ingin ia miliki.

Tak ada yang menyangka, di balik sikap tunduk dan sopan yang ia tunjukkan pada Baron Baud, Sura telah lama membangun kekuasaan diam-diam. Ia hanya mandor di atas kertas, tapi di lapangan, dialah penguasa sesungguhnya. Para kepala afdeling tak berani membantahnya. Para pekerja menghormatinya — atau sekadar takut. Bahkan keputusan panen pun menunggu titahnya.

Sebagai pemimpin yang disegani, ia punya segalanya — termasuk seorang istri muda, Nyi Malati, gadis pribumi berwajah lembut yang kerap melintas di antara pohon karet dengan kebaya merah, seakan tak peduli bahwa sosoknya telah menjadi cermin keingintahuan bagi banyak lelaki. Bisik-bisik tumbuh di antara dapur umum dan barak pekerja. Tatapan para pemuda mengendap, mengusik batin Sura malam demi malam.

Kecemburuan itu tidak masuk akal—ia buta. Sura mulai mengawasi Nyi Malati seperti bayangan, mencatat setiap tawa yang terdengar terlalu renyah, setiap percakapan yang menurutnya terlalu panjang. Ia tak membutuhkan bukti, cukup firasat yang dipelintir oleh ketakutan dan rasa memiliki. Dalam pikirannya, Nyi Malati telah berkhianat, meski tanpa satu pun tanda pasti. Ia mendengar suara-suara di kepalanya, dan setiap gumaman di barak buruh terasa seperti pembenaran. Katanya, Nyi Malati sering terlihat berdiri terlalu dekat dengan seorang mandor afdeling muda. Itu cukup untuk Sura. Kecurigaan yang tak berdasar itu berubah menjadi bara, lalu membakar habis nalar. Dan kemarahan, pada akhirnya, menuntun pada tindakan yang tak bisa ditarik kembali.

Malam itu, ia memanggil Nyi Malati ke Balé Simpenan, katanya ingin ditemani. Tak ada yang tahu apa yang terjadi dalam ruangan itu selain mereka berdua. Tapi menjelang subuh, hanya Sura yang keluar, membawa tikar gulung berisi tubuh yang tak lagi bergerak. Tubuh yang dulu ia genggam penuh hasrat — kini dibuang dengan rasa malu dan harga diri yang koyak.

Ia menyeret takdirnya sendiri menuju danau yang selama ini jadi tempat para pekerja mengambil air. Ia tahu bagian dari danau yang takkan dicari siapa pun. Tubuh Nyi Malati tenggelam di sana, tertutup lumpur dan waktu.

Dan Baron Baud tak pernah tahu.

Ia terlalu percaya pada sang mandor. Ia hanya sesekali datang meninjau kebun. Baginya, perkebunan itu hanya angka-angka di pembukuan, bukan tanah hidup yang menumbuhkan dendam. Kepercayaannya berubah menjadi kelengahan, dan dari kelengahan itu tumbuh tragedi yang berakar dalam, membusuk di tanah… dan menunggu waktu untuk bangkit.

  1. Yang Tersimpan Tak Pernah Hilang

Puluhan tahun kemudian, pohon-pohon karet ditebang, bangunan peninggalan kolonial diratakan dengan tanah. Tak banyak yang tahu bahwa tanah tempat Universitas Merah Putih — tempat aku bekerja selama lebih dari tiga puluh lima tahun— kini berdiri, dulunya merupakan bagian dari perkebunan luas milik Baron Baud.

Sebelum berubah menjadi kampus, tempat itu hanyalah ladang karet sejauh mata memandang — dengan rumah penyimpanan hasil bumi yang sederhana, dan satu paviliun kecil yang oleh warga sekitar dikenal sebagai “Balé Simpenan.” Sebuah bangunan beratap rumbia di ujung kebun, tersembunyi di balik barisan pohon karet yang rimbun. Kini, di lokasi yang sama, berdiri kokoh gedung administrasi pusat—dan cerita tentang gedung ini tak pernah berhenti membuat bulu kudukku berdiri.

Namun Balé Simpenan bukanlah rumah biasa. Meski tampak seperti tempat singgah sederhana di tengah kebun — tempat mandor beristirahat atau mencatat hasil kerja — tak pernah ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di dalamnya. Tidak pernah terlihat ada pekerja keluar masuk, tidak pula terlihat perlengkapan kerja disimpan di sana. Konon, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan masuk, dan hanya Mandor Sura yang memegang kuncinya. Sejak dulu, rumah itu menyimpan kesan ganjil — semacam hawa asing yang membuat orang enggan mendekat tanpa alasan jelas. Dan hingga hari ini, bisik-bisik tentangnya masih sesekali terdengar, terutama saat angin malam membawa aroma tanah basah dari arah danau di belakang kampus.

Tapi bau kematian tidak hilang. Ia mengendap di sudut-sudut lantai, di koridor-koridor sunyi, dan kadang… dalam bisikan lirih yang menghampiri mereka yang berani menelusuri sejarah.

Sejak kampus itu dibuka untuk mahasiswa umum, cerita tentang gadis berkebaya merah mulai beredar. Ia muncul di koridor lantai atas gedung administrasi pusat, berdiri diam di ujung koridor yang menuju kamar mandi perempuan. Beberapa mahasiswa bersumpah melihatnya melintas di cermin toilet perempuan, tapi saat dicek, ruang itu kosong dan dingin seperti baru ditinggalkan.

Tak ada yang tahu siapa dia. Namun, seorang Satpam, Pak Udin, pernah berbisik dengan takut, seolah khawatir ada ‘sesuatu’ yang mendengar: “Kalau lampu koridor tiba-tiba mati di malam hari dan bau melati yang amis tercium, jangan sekali-kali menoleh. Terus saja berjalan. Itu bukan urusan kita.”

Sampai suatu saat.

Sampai suatu saat.

Malam itu aku masih di kantor, lembur menyelesaikan berbagai bahan untuk keperluan wisuda. Seusai salat Isya, aku kembali ke ruang kerja dan duduk sendirian, sementara rekan-rekan yang lain keluar sebentar untuk membeli makanan. Suasana gedung lengang, hanya terdengar dengung kipas dan detik jam dinding. Tiba-tiba, dua rekan sekantorku—Agi dan Tia, yang bekerja di ruang sayap barat gedung—berlari masuk dengan napas terengah. Wajah mereka pucat, mata membelalak—jelas ada ketakutan yang sedang mereka bawa masuk.

“Ada apa?” tanyaku cemas.

Dengan napas masih tersengal, Agi menjawab terbata-bata, “Pak… ada yang aneh … di kamar mandi perempuan.”

Tia mengangguk cepat, menegaskan ucapan Agi. “Iya pak… ada suara orang mandi, tapi pas dicek … nggak ada siapa-siapa, tolong lihat, Pak!”

“Tunggu di sini … jangan kemana-mana” kataku

Sementara Agi dan Tia menunggu di ruanganku, aku segera menuju sayap barat gedung, untuk memeriksa kamar mandi perempuan. Sesampainya di sana, suasananya benar-benar sepi. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada suara, dan tidak ada tanda-tanda kamar mandi baru saja dipakai. Aku pun mulai memeriksa ruangan sekelilingnya. Semua tampak kosong, hening, dan tak ada tanda-tanda aktivitas apapun.

Aku berdiri beberapa saat di depan pintu kamar mandi, mencoba menangkap suara—apa pun—yang bisa membenarkan kekhawatiran Agi dan Tia. Tapi yang terdengar hanya dengung pendingin ruangan dan detak jam dinding dari ruang sebelah.

Perlahan aku mendorong pintu kamar mandi hingga terbuka lebar. Lantai kering. Tak ada setetes air pun. Cermin bersih, wastafel kering, bahkan tidak ada bau sabun atau sampo yang biasanya tercium bila baru dipakai. Tapi… entah kenapa, udara di dalam terasa dingin, lebih dingin dari biasanya.

Aku memutar tubuh dan menuju ruang Rektorat. Semua meja tampak rapi, komputer masih menyala. Pintu ruang Rektor terbuka setengah, namun tak ada seorang pun di dalamnya. Ketika aku hendak melangkah keluar, tiba-tiba terdengar suara… byur… seperti air yang terciprat keras. Suara itu menyerupai benda berat yang jatuh ke dalam kolam.

Aku menoleh spontan. Suara itu jelas berasal dari kamar mandi tadi.

Dengan langkah perlahan dan jantung yang mulai berdebar, aku kembali menghampiri kamar mandi. Kali ini, kulihat ada jejak air mengarah ke dalam. Padahal baru saja kering—aku yakin itu.

Pintu kamar mandi bergetar pelan, seolah tertiup angin… tapi tidak ada jendela terbuka.

Aku menelan ludah. Tanganku terangkat hendak membuka kembali pintu itu, tapi belum sempat menyentuh gagang, suara lain terdengar: suara pelan… seperti seseorang sedang menyanyi… lirih… nyaris seperti bisikan.

Suara perempuan.

Suara lirih itu masih terdengar, mengalun seperti nyanyian lama yang nyaris hilang ditelan waktu. Aku berdiri terpaku di ambang pintu kamar mandi yang kini terbuka perlahan, seolah mengundangku masuk.

Di dalamnya, berdiri sosok perempuan.

Suara lirih itu masih terdengar, mengalun seperti nyanyian lama yang nyaris hilang ditelan waktu. Aku berdiri terpaku di ambang pintu kamar mandi yang kini terbuka perlahan, seolah mengundangku masuk.

Di dalamnya, berdiri sosok perempuan.

Sosok itu tampak anggun sekaligus ganjil—mengenakan kebaya adat Sunda berwarna merah darah, dipadukan dengan kain batik yang menjuntai hingga pergelangan kaki. Rambutnya disanggul rapi —dengan tusuk konde perak patah— meski sebagian terurai basah, menempel di pelipis dan lehernya. Ia menunduk pelan, memperlihatkan tengkuk dan bahu yang pucat, seperti kulit yang terlalu lama terendam. Tak ada suara air, tak ada cipratan—namun seluruh tubuhnya kuyup, seolah baru saja ditarik keluar dari dasar kolam. Wajahnya mengabur dalam pucat kehijauan, dan kulitnya tampak mengelupas halus di beberapa bagian. Matanya kosong dan membuncah putih, menatap tanpa kedip, seperti menembus ruang. Ada sesuatu yang membusuk dalam sorot itu—sebuah teror diam yang mencengkeram.

Aku mundur setapak. “Permisi… Bu… Anda siapa?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya perlahan. Sepasang mata putihnya menatapku tajam namun kosong, seperti melihat menembus tubuhku. Senyum tipis menghiasi bibirnya, dan dalam suara yang nyaris berbisik, ia berkata:

“Tolong.”

“Apa maksudnya?” tanyaku terbata.

Dia tidak menjawab. Hanya memutar tubuhnya, perlahan, dan melangkah ke dalam kamar mandi yang gelap di belakangnya. Setiap langkahnya tak bersuara, meski lantai keramik itu dingin dan basah. Saat hendak hilang di balik bayangan, ia menoleh sekali lagi—matanya menatapku dalam-dalam.

“Temukan aku… sebelum semuanya terlambat.”

Lampu kamar mandi berkedip keras. Dalam sekejap, sosok perempuan itu lenyap. Aku menyerbu masuk—kosong. Tidak ada siapa-siapa. Lantai kembali kering. Udara dingin mulai menghilang, berganti dengan keheningan yang menyesakkan.

Namun di cermin, tergores samar oleh kabut yang entah datang dari mana, ada tulisan:

“Situ — cari.”

  1. Situ

Keesokan paginya, aku menemui Pak Joe—petugas yang biasa mengurus properti kampus. Ruangannya terletak di koridor seberang ruanganku.

Aku menemui Pak Joe karena merasa ada sesuatu yang janggal—seolah ada kaitan antara tulisan “situ” di cermin dengan cekdam di belakang kampus. Orang-orang tua dulu menyebut danau kecil itu dengan istilah lokal: situ. Kini, cekungan air itu tak lagi tampak seperti danau; sudah diperkuat dengan tembok beton, menjelma jadi cekdam yang nyaris terlupakan.

“Pak Joe, cekdam di atas itu masih ada airnya nggak ya?” tanyaku membuka percakapan.

Pak Joe menoleh sambil membetulkan letak kacamatanya. “Sekarang mah udah kering. Nggak keurus lagi dari dulu, apalagi sejak ada jalan tol. Airnya makin susah ngumpul.”

Hari itu hari Jumat—biasanya aku menghabiskan pagi dengan bermain basket bersama teman sekantor di lapangan kampus. Tapi entah kenapa, rasa penasaranku soal tulisan “situ” di cermin belum juga reda. Aku memutuskan untuk izin tidak ikut bermain. Sebagai gantinya, aku berjalan kaki sendirian menuju cekdam—anggap saja ini pengganti olahraga pagi.

Angin pagi menyapu pelan sepanjang jalur setapak menuju bukit kecil di belakang kampus. Suasananya sepi, hanya suara langkah kakiku dan dedaunan kering yang bergesekan. Aku tak tahu pasti apa yang kucari, tapi ada sesuatu tentang tempat itu—tentang “situ”—yang seolah menunggu untuk ditemukan.

Sesampainya di cekdam, aku berjalan menyusuri tepiannya. Entah apa yang sebenarnya kucari—langkahku seperti digerakkan oleh firasat yang samar. Karena mulai lelah, aku memutuskan berteduh di bawah satu-satunya sisa pohon karet yang tumbuh di sana, menjulang sendiri di tanah yang mulai mengering.

Saat itulah angin semilir berembus—tapi bukan angin biasa. Ada hawa dingin yang tiba-tiba menyergap, menggigit kulit, menyusup lewat celah pakaian, dan menancap hingga ke tulang. Jantungku berdetak tak beraturan. Napasku tercekat.

Lalu, bisikan itu datang. Halus, samar, nyaris tak nyata—tapi jelas menyusup ke telingaku: “…ikuti… ikuti…”

Rasa takut menjalar perlahan, seperti kabut dingin yang membungkus tubuh. Telapak tanganku berkeringat, meski udara begitu sejuk. Leherku kaku, dan bulu kuduk berdiri tanpa bisa dicegah. Aku menoleh cepat ke kiri dan kanan—tak ada siapa pun. Tapi perasaan diawasi itu semakin kuat, seperti ada mata tak kasat yang menatap dari cekdam yang mengering.

Aku ingin lari. Tapi kakiku seakan tertahan oleh tanah, berat, tak mau bergerak. Ketakutan itu bukan sekadar cemas—ia berubah menjadi teror yang diam-diam menjerat, membuatku nyaris lupa bernapas.

Aku refleks menoleh ke kiri dan kanan—namun tak ada siapa pun. Hanya hening dan suara ranting kecil yang jatuh di kejauhan. Lalu bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih lirih, “…daun… daun…”

Baru saat itu aku menyadari—daun-daun karet tempat aku berteduh, berguguran pelan, terbawa angin yang seolah punya arah. Mereka jatuh satu per satu, kemudian melayang mengikuti hembusan, menyusuri tanah menuju satu titik.

Aku berdiri dan, dengan jantung yang mulai berdetak lebih cepat, mengikuti arah jatuhnya daun-daun itu. Mereka semua mengarah ke satu tempat—sebuah sudut yang sebelumnya tak pernah kuperhatikan. Dan di sanalah mereka berhenti, terkumpul dalam lingkaran yang tak biasa.

Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang ingin menunjukkan dirinya—atau mungkin menunggu untuk ditemukan. Dan aku, tanpa sadar, sudah terlanjur masuk terlalu dalam.

Aku berdiri mematung di hadapan kumpulan daun yang berhenti di satu titik itu, tapi tak ada lagi bisikan seperti sebelumnya. Sunyi. Hanya suara gesekan dedaunan kering yang pelan tertiup angin. Aku masih bingung—apa yang seharusnya kulakukan sekarang?

Tanah di bawah guguran daun itu tampak sedikit lebih lembap dari sekitarnya, seolah pernah menyerap sesuatu. Dengan ragu, aku mengambil sebatang ranting yang tergeletak tak jauh, lalu mulai mengorek tanah perlahan, mencoba mencari tahu—apa pun itu.

Baru beberapa kali ranting itu menyentuh tanah, ujungnya menyangkut sesuatu. Aku menyingkirkan tanah yang menutupinya, dan di sanalah—terlihat secarik kain berwarna merah, lembap dan kusut, seperti telah lama terkubur. Kain itu tampak sangat tua, warnanya memudar, hampir tak terlihat. Serat-seratnya terurai, sebagian robek, dan dipenuhi oleh tanah lembab.

Lalu aku melihat kilau samar dari sesuatu yang tersangkut di antara lipatan kain: sepotong tusuk konde kuno patah dari perak. Seolah konde itu menolak berpisah dari pemiliknya.

Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Kain itu… entah kenapa terasa familiar.

Dengan tangan gemetar, aku menyingkap lebih jauh kain merah yang setengah terkubur itu. Lumpur menempel di serat kainnya, berbau lembap dan tua. Dan di balik lipatan kain yang mulai terbuka—tampak sesuatu yang membuat napasku tertahan. Sebuah tengkorak.

Tengkorak manusia, terbungkus sebagian oleh kain. Retakan kecil di pelipisnya, rahangnya yang terbuka seperti ingin berteriak—semua itu membuat dadaku serasa dicekik ketakutan. Dunia mendadak sunyi. Hanya degup jantungku yang terasa menggedor dari dalam.

Aku mundur dengan tubuh lemas, lalu berbalik dan berlari menuruni jalan setapak menuju kampus. Kakiku beberapa kali terperosok dalam retakan kecil di tanah kering dan akar pohon yang menjalar. Aku terjerembab, tangan dan lututku lecet, tapi aku tak peduli. Yang kupikirkan hanya satu: menjauh dari tempat itu secepat mungkin.

Di tengah pelarianku yang kacau, ingatanku mulai kabur—melayang kembali pada malam sebelumnya. Tulisan “situ” di cermin… sosok perempuan berkebaya merah, kainnya yang basah menempel erat di tubuhnya, berkilau dingin dengan mata putih yang menatap kosong… bisikan lirih yang mengajakku mengikuti arah angin.

Aku akhirnya sampai kembali di lapangan basket—terengah, tubuh penuh luka lecet, dan pakaian kotor berlumur tanah. Teman-teman sekantor yang sedang bermain langsung menghentikan permainan. Wajah mereka berubah panik saat melihat keadaanku.

“Eh, Pak! Pak kenapa?” seru Pak Sunan sambil bergegas menghampiri.

Mereka membopongku perlahan dan mendudukkanku di bangku semen di pinggir lapangan. Napasku masih memburu. Tanganku gemetar, tenggorokan kering. Pak Adam datang membawa sebotol air mineral, menyodorkannya dengan ekspresi cemas.

“Minum dulu,” katanya pelan. Lalu matanya menatapku tajam. “Pak… tadi ke cekdamnya sendirian?”

Aku mengangguk lemah.

Setelah napasku mulai tenang, aku menceritakan semuanya—tentang guguran daun, bisikan lirih, penggalian tanah, dan tengkorak yang kubuka dari balik kain merah itu. Tak ada yang menyela, hanya wajah-wajah terdiam menatapku, sebagian tak percaya, sebagian lagi terlihat pucat.

Pak Joe yang sedari tadi diam, akhirnya berdiri dan mengambil ponselnya yang tergeletak di bangku semen dekatku.. “Saya hubungi satpam. Harus dicek. Kalau benar seperti kata Bapak, ini urusannya sudah serius. Harus lapor polisi juga.”

Tak ada yang membantah. Hening menggantung sesaat di sekitar kami, tak ada yang bergerak, hanya bola basket yang menggelinding pelan, terlupakan di tengah lapangan. Hari itu, cekdam yang sudah lama dilupakan, kembali menyimpan sesuatu yang tak lagi bisa diabaikan.

  1. Hatur Nuhun

Beberapa hari kemudian.

Aku tiba di kantor kurang dari pukul tujuh pagi. Kali ini ada yang berbeda—jalanan yang biasanya macet ternyata lancar, membuatku sampai lebih awal dari perkiraan. Langit mendung, suasana kampus masih lengang. Mukaku terasa kering setelah perjalanan, jadi aku segera meletakkan tasku di meja dan buru-buru menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Lorong menuju kamar mandi tak ada penerangan langsung—lampu lorong sudah lama mati dan belum diganti. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari jendela kecil di dinding samping. Namun, sinar pagi yang mestinya menerangi lorong itu nyaris tak bisa menembus, terhalang deretan rak arsip yang disusun rapat menutupi sebagian besar jendela. Cahaya merayap lemah, tercekat di balik bayang-bayang dan kertas kusam. Udara di dalamnya lembap, beraroma kertas tua dan kayu lapuk—dan entah kenapa, selalu lebih dingin dari ruangan lain.

Langkahku baru menginjak lorong menuju kamar mandi. Lalu, terdengar sesuatu—pelan, tapi cukup untuk membuatku berhenti. Lantunan kawih Sunda—merdu dan lembut menyiratkan kegembiraan. Suara yang asing tapi indah, mengalun dari balik pintu kamar mandi perempuan. Aku berhenti sejenak. Keningku berkerut, tak yakin apakah aku salah dengar. Tak biasanya ada suara seperti itu pagi-pagi.

Saat itulah hidungku menangkap aroma bunga melati—lembut, namun menguar kuat dan menggetarkan perasaan. Merinding, tubuhku menegang. Tapi entah kenapa, ada dorongan dari dalam yang lebih kuat dari rasa takut. Aku harus melihatnya.

Perlahan aku membuka pintu. Tapi yang kulihat bukan kamar mandi. Di hadapanku terbentang pemandangan yang tak masuk akal—seorang perempuan duduk bersimpuh di bawah naungan pohon karet besar, di tepi danau yang sunyi. Ia mengenakan kebaya merah, rambutnya disanggul rapi dengan tusuk konde perak yang berkilau samar diterpa cahaya. Wajahnya—wajah itu cantik tenang, tersenyum kepadaku dengan mata yang seolah menyimpan rasa lega.

Ia berhenti melantunkan kawih, lalu perlahan menggerakkan bibirnya kepadaku. Tak ada suara keluar, tapi aku bisa membacanya dengan jelas: “Hatur nuhun.”, Terima kasih.

Aku terpaku. Antara takut dan tersentuh, tak mampu bergerak atau bicara.

Tiba-tiba suara familiar membuyarkan semuanya. “Permisi, Pak. Mau dibersihkan dulu kamar mandinya.”

Pak Suha, petugas kebersihan, berdiri di ambang pintu sambil membawa alat pel. Aku menoleh padanya, kemudian kembali melihat ke dalam—dan kamar mandi telah kembali seperti semula. Kosong. Sunyi. Tak ada danau, tak ada pohon karet, tak ada perempuan berkebaya merah.

Sejak hari itu, tak ada lagi kejadian aneh di gedung administrasi pusat. Semuanya kembali tenang. Tapi setiap kali aroma melati tercium samar, aku tahu—ia masih ada. Hanya sudah tak ingin menampakkan diri lagi. Seolah kisahnya telah selesai.