Oleh: Drs. Dedy Supriadi, M.Si (Direktur PIBI Ikopin)
Dalam sebuah pelatihan bertajuk Persiapan Purnabhakti yang diselenggarakan oleh Pertamina, saya mendapat kesempatan menjadi pemateri pertama dengan topik Kewirausahaan. Selain menyampaikan materi, saya juga diminta oleh panitia untuk membuka sesi dengan ice breaking agar suasana lebih cair dan peserta lebih siap menerima pembekalan.
Permainan ringan yang saya pandu berhasil menciptakan suasana hangat. Tawa dan semangat peserta memenuhi ruangan. Namun, di tengah keceriaan itu, saya menangkap satu ekspresi berbeda—seorang peserta yang tampak enggan, tidak antusias, dan cenderung pasif. Dalam hati, saya sempat berpikir, “Ini mungkin akan jadi tantangan tersendiri.”
Benar saja. Baru beberapa menit saya menyampaikan materi, beliau langsung menyampaikan komentar yang cukup tajam:
_“Kami ini sudah bekerja cukup lama, ada yang 25 tahun, 28 tahun. Sekarang kami mau pensiun, malah disuruh berwirausaha yang tidak jelas hasilnya. Banyak pensiunan yang gagal, uang pensiun habis, usaha bangkrut…”_Komentar tersebut membuat ruangan hening sejenak. Saya menyadari bahwa ini bukan sekadar keluhan, melainkan refleksi dari pengalaman nyata dan kekhawatiran yang wajar. Saya pun menjawab dengan pendekatan yang lebih terbuka:
“Pak, hidup ini adalah pilihan. Bapak berhak menentukan aktivitas di masa pensiun. Jika ingin istirahat dan menikmati waktu bersama keluarga, itu pilihan yang sah. Jika ingin aktif dalam kegiatan sosial atau keagamaan, itu pun mulia. Ada juga yang memilih untuk tetap bekerja di tempat lain, dan ada pula yang tertarik berwirausaha. Wirausaha memang tidak menjamin keberhasilan, tapi dengan persiapan yang matang dan pemahaman risiko, peluang keberhasilan bisa lebih besar. Pelatihan ini hadir untuk memberi bekal, bukan untuk memaksa.”
Respons tersebut membuka ruang diskusi yang lebih jujur dan reflektif. Banyak peserta mulai berbagi pandangan, pengalaman, dan harapan mereka. Saya belajar bahwa dalam pelatihan seperti ini, bukan hanya materi yang penting, tetapi juga ruang untuk mendengarkan dan memahami.
Yang paling membekas bagi saya adalah perubahan sikap dari peserta yang sebelumnya menyampaikan komentar tajam. Saat makan siang, beliau mendekati saya dan memilih duduk satu meja. Kami pun terlibat dalam percakapan yang hangat dan terbuka. Beliau bercerita banyak hal—tentang perjalanan kariernya, kekhawatiran menjelang pensiun, dan harapan yang masih tersisa. Dari nada bicara dan gestur tubuhnya, saya merasakan bahwa sikapnya telah berubah: dari skeptis menjadi bersahabat, dari tertutup menjadi terbuka.
Transformasi itu tidak terjadi karena saya meyakinkan beliau dengan teori, tetapi karena saya memberi ruang untuk didengar. Dan mungkin, dalam suasana yang lebih santai dan manusiawi, beliau menemukan bahwa pelatihan ini bukan ancaman, melainkan tawaran untuk melihat masa pensiun dari sudut yang berbeda.
Pensiun Bukan Titik Akhir
Pensiun sering kali dipersepsikan sebagai akhir dari produktivitas. Padahal, ia bisa menjadi awal dari fase hidup yang lebih bermakna. Masa purnabhakti adalah waktu untuk mengenal diri lebih dalam, mengejar hal-hal yang tertunda, atau memberi kembali kepada masyarakat dengan cara yang berbeda.
Wirausaha hanyalah salah satu pilihan. Mungkin tidak semua orang cocok, dan tidak semua orang harus mencobanya. Yang terpenting adalah membuat keputusan yang sadar, berdasarkan pemahaman diri, kondisi, dan tujuan hidup masing-masing.
Penutup
Pelatihan purnabhakti bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses pendampingan menuju fase baru kehidupan. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari proses tersebut. Dari tawa, diam, hingga suara kritis—semuanya memberi pelajaran berharga.
Semoga setiap peserta menemukan jalan pensiun yang bermakna. Karena sejatinya, pensiun bukan tentang berhenti, melainkan tentang memilih arah baru dengan penuh kesadaran dan kebebasan.
Terima kasih untuk yang membaca, mohon maaf bila tidak berkenan, semoga bermanfaat.