Oleh: Dindin Najamuddin, SE. (Kepala Bagian Akademik Universitas Koperasi Indonesia)
Setelah menyeberang dari arah Gedung Sate menuju Lapang Gasibu, aku belok ke kiri, menelusuri trotoar. Tak jauh melangkah, mataku menangkap sosok tua yang duduk membungkuk di sisi trotoar. Di sampingnya tergeletak sebuah karung, seperempat penuh.
Pandangan matanya tertuju pada kantung plastik berisi beras yang ternyata tercampur pasir. Ia tampak begitu tekun, memisahkan butiran-butiran beras dari pasir dengan jemari tuanya, seolah dunia di sekitarnya tak ada.
Entah kenapa, hatiku tergerak. Ada rasa iba yang pelan-pelan mengisi hati. Aku merogoh saku, mengambil sejumlah uang, lalu memberikannya kepadanya. Tak banyak kata. Hanya senyuman kecil yang ia balas.
Tapi anehnya, perasaan setelah itu begitu hangat. Ada kelegaan yang sulit dijelaskan, seolah aku baru saja menyelamatkan sepotong kemanusiaan di bumi ini.
Beberapa minggu kemudian, aku kembali melewati jalan yang sama. Trotoar itu masih sibuk dengan lalu-lalang orang, tapi mataku segera tertuju pada sosok yang familiar. Ia masih di sana, si bapak tua dengan karung setianya. Duduk di tempat yang sama, dengan tubuhnya membungkuk, matanya tertuju pada seplastik beras yang kembali harus dipisahkan dari pasir.
Tangannya masih sabar, jemarinya tetap telaten, seolah lelah tak menyentuh ketekunannya.
Dadaku menghangat, tapi bukan oleh haru seperti dulu. Melainkan oleh kecewa yang diam-diam datang. Rupanya, iba bisa ditanam. Dan belas kasih kadang dimanfaatkan.
Aku berjalan lagi. Kali ini dengan langkah yang berat, dan keyakinan yang sedikit berubah tentang cara dunia bekerja.