Oleh: Dr. Ir. Wawan Lulus Seiawan, MS. (Kepala Pusat Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Koperasi Indonesia)
Berjamaah berasal dari Bahasa Arab الجماعة (al-jamā‘ah) yang dibentuk dari akar kata ج – م – ع (j–m–‘). Akar kata ini memiliki arti dasar: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan menjadi satu kelompok. Dengan kata lain makna berjamaah dalam ilmu “sekolahan” yang kita pelajari sama maknanya dengan “berorganisasi”. Berorganisasi pun bermakna berkumpul, berhimpun, bersatu menjadi satu kelompok. Bersatu bermakna satu visi, satu misi dan satu tujuan, sebab jka tidak bersatu, hanya berhimun saja, bisa hanya merupakan kerumunan. Lebih dari itu, tata cara berjamaah (baca: berorganisasi) ditegaskan dalam Ash-Shaf 4:
كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Seakan-akan mereka bangunan yang tersusun kokoh.” Secara etimologi, maka berjamaah dapat bermakna: behimpun, bersatu, berbaris dengan teratur, mengikuti pemimpin, memiliki tujuan kolektif, taat dalam satu system. Itulah sebabnya konsep “Ash-Shaf” (barisan) sering dikaitkan dengan makna “berjamaah”, tidak hanya dalam shalat namun juga dalam aktivitas sosial kemasyarakatan.
Tafsir Sayyid Qutb – Fi Zhilalil Qur’an secara jelas dan tegas menafsirkan bahwa:
“Ash-Shaf adalah konsep kesatuan gerakan umat; bukan sekadar shalat, tetapi seluruh perjuangan sosial, dakwah, dan tatanan masyarakat.” Menurut Qutb: barisan shalat hanyalah contoh paling kecil, barisan jihad adalah skala besar, barisan sosial adalah implementasi menyeluruhnya.
Ia menyebut bahwa umat Islam harus menjadi “barisan hidup”—terorganisir, disiplin, dan kompak dalam membangun masyarakat. Hal ini senada dengan Az-Zuhaili dalam Tafsirnya Wahbah Az-Zuhaili – Tafsir al-Munir yang menjelaskan bahwa makna ash-shaf mencakup: shalat berjamaah, jihad, dan aktivitas sosial yang menuntut kerja kolektif. Ia mengatakan bahwa ayat tersebut “bermuatan sosial” karena menyangkut tatanan umat dalam masyarakat, bukan hanya ibadah ritual.
Koperasi adalah salah satu bentuk organisasi masyarakat dalam aspek kehidupan sosial-ekonomi dengan tujuan yang sama yaitu agar semua anggota dapat memperoleh manfaat (benefit) secara sosial dan ekonomi secara bersama-sama, sejahtera bersama-sama, makmur bersama-sama. Tujuan ini dirumuskan bersama sehingga menjadi tujuan kolektif, yang kemudian secara bersama-sama digapai melalui tatanan, komitmen dan system yang disepakati bersama (collective action). Bukankah itu sama yang dimaknai dalam Ash-Shaf 4:
كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Seakan-akan mereka bangunan yang tersusun kokoh.” Itu sejalan dengan pemahaman yang diberikan oleh Tafsir Sayyid Qutb – Fi Zhilalil Qur’an dan Az-Zuhaili dalam Tafsirnya Wahbah Az-Zuhaili – Tafsir al-Munir yang menjelaskan bahwa makna ash-shaf juga mencakup aktivitas sosial yang menuntut kerja kolektif . Itulah yang saya maksud dengan judul tulian ini “Berkoperasi adalah Berjamaah”.
Saya ingin mengangkat pemaknaan ini, terpicu oleh resume dari Focus Group Disscussion tentang “Diskusi Solusi Keluar dari Perangkap Institusi: Memperkuat Kedaulatan Ekonomi Indonesia Berbasis pasal 33 UUD 1945” di Kampus IKOPIN, Selasa 18 November yang dihadiri lintas Kampus dan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Yang menarik dari FGD ini adalah salah satu kemimpulannya bahwa pembangunan koperasi itu harus berbasiskan nilai budaya (tentu saja pembangunan berbasis nilai budaya menarik menjadi basan tersendiri). Satu Kesimpulan ini dipicu terutama oleh pengalaman best practice dari Koperasi Kredit Keling Kumang yang disampaikan langsung oleh Rektor Institut Teknologi Keling Kumang (sebuah peruruan tinggi yang “dimiliki” oleh anggota Koperasi Kredit Keling Kumang) dalam FGD tersebut.
Pak Rektor menjelaskan bahwa Koperasi Kredit Keling Kumang yang berlokasi di Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat, 8 jam perjalanan kendaraan dari Pontianak, yang didirikan tahun 1993 oleh 26 anggota dengan modal awal Rp 291 ribu dan sekarang tahun 2025 telah beranggotakan 235 ribu orag dengan asset Rp 2.4 Trilyun, itu dilandasi oleh sebuah semangat (nilai) bahwa kami adalah sebuah masyarakat dari Suku Dayak di Kabupaten Sekadau yang memiliki nenek moyang yang sama yaitu Keling (sebagai bapak) dan Kumang (sebagai ibu), yang sampai saat ini mereka hidup dan menyertai serta memperhatikan kehidupaan kita. Semangat (nilai) tersebut kemudian menjadi energi bagi masyarakat untuk secara bersama-sama membangun kehidupan secara berkoperasi, sebagai bentuk ketaatan dan penghormatan terhadap nenek moyang mereka.
Nilai budaya secara sosiologis dapat mencakup semangat (spirit), dan dapat juga believe (keyakinan). Dari pemaknaan ini, maka bagi umat Islam, nilai atau spirit itu adalah keyakinan yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam. Dalam konteks ini, maka sudah selayaknya diyakini bahwa berkoperasi adalah berjamaah, dan berjamaah adalah sesuatu yang disyariatkan dalam Agama Islam. Maka berkoperasi adalah berjamaah, dan berjamaah adalah menjalankan syariat, maka berkoperasi adalah menjalankan syariat.
Semangat atau nilai ini lah yang sebaiknya dijadikan dasar nilai untuk membangun kesadaran umat Islam bagaimana mereka dapat membangun kekuatan sosial-ekonominya secara berjamaah (berkoperasi). Dengan berkoperasi bukan saja mereka mendapat benefit secara sosial dan ekonomi, namun mereka insya Allah mendapat benefit secara spiritual (pahala) dari Allah Tuhan YME.
Pembahasan lebih lanjut tetang bagaimana hukum berjamaah secara sosial ini menurut pendapat para ulama juga tidak kalah menarik, namun itu tentunya menjadi ranahnya para alim-ulama yang tentu lebih memahaminya dengan baik dan utuh. Namun penelusuran literatur secara selintas, diperoleh keterangan bahwa berjamaah secara sosial itu juga mendapat perhatian yang serius menurut syariat.
Setidaknya Ibnu Katsir menafsirkan QS. Ali Imran:103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا Berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan jangan bercerai-berai. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa perintah bersatu dan tetap dalam jamaah dalam ayat ini adalah wajib bagi umat Islam. Walaupun Ibnu Katsir tidak menulis secara harfiah bahwa “berjamaah dalam aktivitas sosial sosial adalah fardhu”, tetapi makna dan perintah dalam teks beliau menunjukkan hal itu. Para ulama menyimpulkan dari penjelasan beliau:
الاجتماع أصل عظيم في الدين، وهو واجب
“Persatuan adalah prinsip besar dalam agama, dan itu hukumnya wajib.”
(Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir, Dar Tayyibah, Jilid 2, hlm. 90–91)
Pendekatan berbasis nilai budaya dalam membangun semangat berkoperasi di Keling Kumang itu bagi saya sekaligus menguatkan teori Etzioni tentang partisipai masyarakat. Amitai Etzioni menghubungkan jenis pendekatan dengan jenis partisipasi. Hubungan ini membentuk matriks interaksi berikut:
Pendekatan coercive power akan direspon dengan Alienated Participation dengan karakteristik Partisipasi terpaksa, minim motivasi, hanya untuk menghindari hukuman.
Pendekatan Remunerative Power akan direspon dengan Calculative Participation dengan karakteristik Partisipasi berdasarkan hitungan untung-rugi, rasional, bersifat instrumental.
Pendekatan dengan Normative Power akan direspon dengan Moral Participation dengan karakteristik Partisipasi tertinggi karena dorongan nilai, komitmen, dan identitas moral.
Dalam kasus Keling Kumang, yang diberlakukan adalah remunerative (dengan meyakinkan tentang benefit berkoperasi) sekaligus dengan Normative power dengan nilai-nilai spiritual Keling-Kumang. Pendekatan normative itu diyakini oleh Etziony sebagai partisipasi tertinggi yang akan lebih tertanam dengan kuat di masyarakat. Pendekatan dengan remunerative dan normative secara simultan tersebut dapat menjadi bench-marking dalam pembangunan masyarakat secara berkoperasi di Indonesia, khususnya bagi masyarakat muslim, bahwa jika berkoperasi masyarakat selain memperoleh benefit sosial (terbangun kebersamaan, solidaritas), dan benefit ekonomi (memperoleh layanan koperasi yang lebih mudah, dan murah), namun juga mendapat benefit spiritual berupa pahala dari Allah swt, sebagai bentuk ketaatan kepada syariat agama.
Jika hal ini dapat diyakini bersama, maka sosialisasi berkoperasi dapat diperkuat dengan pendekatan normative power melalui pembangunan kesadaran bersama dari segi nilai-nilai keagamaan. Untuk ini maka sesungguhnya para alim-ulama dapat memberikan kontribusi yang sangat bermakna dalam pembangunan masyarakat secara berjamaah (baca: berkoperasi) ini.