Oleh: Dr. H. Abdul Hakim, M.Pd., M.Ag. (Dosen Program Studi Ekonomi Syariah Universitas Koperasi Indonesia)

Maqashid Syariah adalah suatu teori atau konsep yang disodorkan oleh tokoh-tokoh pemikir Islam, di antaranya adalah Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Syatibi. Maqoshid Syariah dapat dikatakan merupakan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai oleh syariat Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Maqashid Syariah terdiri dari dua kata, yaitu “maqashid” yang berarti tujuan atau sasaran, dan “syariah” yang berarti jalan menuju sumber air atau jalan ke arah pokok sumber keadilan. Maqashid Syariah bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kedua tokoh tersebut bersepakat ada 5 (lima) yang menjadi Maqashid Syariah, yaitu:

1. Hifzh al-Din (Memelihara Agama): menjaga keimanan dan menjalankan ajaran Islam.

2. Hifzh al-Nafs (Memelihara Jiwa): menjaga keselamatan dan kesehatan jiwa manusia.

3. Hifzh al-‘Aql (Memelihara Akal): menjaga keselamatan dan kesehatan akal manusia.

4. Hifzh al-Nasl (Memelihara Keturunan): menjaga keselamatan dan kesehatan keturunan manusia.

5. Hifzh al-Mal (Memelihara Harta): menjaga keselamatan dan keamanan harta benda manusia.

Syariat atau syariah yang dijalankan oleh manusia selama hidup di dunia berisi ketetapan-ketetapan Allah sebagai Tuhan agar dijalankan oleh manusia. Syariat tersebut saat dijalankan oleh manusia maka akan disebut ibadah. Dalam konteks ibadah ini ada yang terkait dengan hablum minallah ada juga yang terkait dengan hablum minannas.

Hablum minannas adalah kegiatan ibadah yang dijalankan manusia berhubungan manusia lain atau disebut muamalah, di antaranya berumah tangga dan kegiatan ekonomi. Dalam berumah tangga manusia berhubungan dengan manusia lain seperti istri atau suami dan juga dengan anak-anaknya. Sementara dalam kegiatan ekonomi bila di sektor perdagangan maka manusia berhubungan antara penjual dan pembeli. Bila kegiatan ekonominya dalam bentuk pekerjaan di perusahaan atau kantor, maka manusia berhubungan setidaknya antara atasan dengan bawahan. Kedua bentuk muamalah tersebut terkait dengan hak dan kewajiban.

Dalam memenuhi kewajiban yang bentuknya adalah pelaksanaan tugas, manusia muslim harus mengkaitkannya dengan maqoshid syariah. Seorang suami yang bekerja untuk menjalankan tugasnya mencari nafkah harus dikaitkan untuk memelihara agama (Hifzh al-Din), bahwa agama memerintahkan manusia atau seorang suami untuk mencari nafkah dan itu dalam rangka menjalankan ibadah. Mengkaitkan juga dengan memelihara jiwa (Hifzh al-Nafs), karena dengan bekerja jiwa menjadi sehat tidak menganggur yang menyebabkan penyakit. Adapaun Hifzh al-‘Aql atau memelihara akal, bahwa dengan bekerja otak, akal atau pikiran menjadi segar karena sering digunakan untuk melakukan dan memikirkan hal-hal baik. Sementara Hifzh al-Nasl atau memelihara keturunan, bahwa dengan bekerja seorang suami dapat menafkahi istri dan keturunannya sehingga terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papannya.

Dan yang terakhir Hifzh al-Mal atau memelihara harta, dimana harta yang didapat dari kegiatan ekonomi atau bekerja harus terhindar dari yang haram. Karena yang haram akan mengancam manusia untuk mendapatkan kehidupan Neraka di Akhirat kelak. Sesuatu yang haram tersebut dalam kegiatan ekonomi berbentuk MAGRIB yang terdiri dari Maysir atau gambling, perjudian, Ghoror atau spekulasi, tipuan dan Riba atau bunga sebagai wujud ketidakadilan.