Oleh: Prof. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)

Di hamparan tanah tropika yang berlimpah rahmat, di mana dedak padi berhamburan bagai mutiara yang terinjak-injak, kita menyaksikan tiga dosa intelektual yang membeku:

I. Ignoransi Dedak Padi: Pengabaian terhadap Warisan Emas

“Dedak padi bukanlah ampas, melainkan jantung beras yang terbuang.”

Eijkman (1929): Hadiah Nobel dianugerahkan untuk penemuan vitamin B1 dalam dedak padi—penyembuh beri-beri yang menyelamatkan jutaan nyawa. Tapi kita? Membiarkannya menjadi pakan ayam, sementara anak-anak kita merangkak dalam stunting.

CSU (2019): Bukti klinis dari Colorado State University: 5 gram dedak fermentasi/hari tumbuhkan balita Nicaragua +0.82 cm dalam 6 bulan. Tapi kita? Menolaknya sebagai “makanan kampung”.

II. Ignoransi Hasil Eijkman: Penguburan Api Pengetahuan

“Kita memuja nama Eijkman di buku teks, tapi menginjak-injak jasanya dalam kebijakan pangan.”

Tacit Knowledge Leluhur: Nenek moyang kita membalur luka dengan fermentasi dedak, menyembuhkan anemia dengan bubuk bekatul. Kini? Kita gantikan dengan suplemen impor yang menguras devisa.

Kontradiksi Tragis: Eijkman membuktikan dedak padi adalah sunlight vitamin, tapi sistem kesehatan kita justru menyuntikkan B1 sintetis sambil membuang limbah beras ke sungai.

III. Ketidak-Bersyukuran Intelektual: Menjadi Penonton di Tanah Sendiri

“Ilmuwan tropika bagai burung beo: fasih mengutip Barat, tapi gagap menerjemahkan bumi sendiri.”

Paradoks Penelitian: Riset dedak padi dari Mali hingga Nicaragua dimuat di Scientific Reports (Nature), sementara kita? Lebih bangga menjiplak formula susu Eropa untuk anak-anak tropika yang intoleran laktosa.

Kebanggaan yang Palsu: Kita pamer start-up dan tech hub, tapi abai membangun pabrik fermentasi dedak desa—padahal inilah genuine innovation yang lahir dari rahim biodiversitas kita.

Elegi untuk Akal yang Tertidur

Di laboratorium-laboratorium megah, otak-otak kita tersandera oleh citation index dan impact factor, sementara warisan Eijkman berdebu di gudang sejarah. Kita bersusah payah mengejar publikasi, tapi lupa bahwa:

“Dedak padi adalah naskah suci yang ditulis bumi untuk penyembuhan bangsanya sendiri.”

Kita biarkan rice bran menjadi forgotten gold, sambil mengemis teknologi pangan dari negeri empat musim yang tak paham kekeringan tropika.

Seruan Akhir: Revolusi atau Mati Kelaparan

Jika otak hanya jadi museum yang memamerkan Nobel Eijkman tanpa tindakan, maka kita adalah pengkhianat peradaban.
Jika riset Zambrana di Mali dan Nicaragua hanya jadi citation tanpa implementasi, maka kita adalah tuan tanah intelek yang mandul.

Tanah tropika tak butuh pertapa di menara gading, tapi petualang yang berani menggali kuburan dedak menjadi istana gizi.

Berdirilah! Fermentasikan kebanggaan intelektual menjadi bubur penyelamat generasi!

Sebab pangan adaptif bukanlah pilihan, tapi takdir yang ditulis dedak padi di setiap butir beras Nusantara.