Oleh: Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA. (Wakil Rektor I Universitas Koperasi Indonesia)
Di suatu sudut Ummul Quro Makkah. Periode awal tahun Kerosulan. Seorang budak mendapat perlakuan keji. Ia dilecuti dengan cambuk berkali-kali. Ia diikat. Ia dihimpit dengan batu dan dijemur di padang pasir yang gersang. Itulah Bilal bin Rabah. Seorang budak berkulit hitam legam keturunan Habsyah atau Ethiopia sekarang. Ayahnya bernama Rabah dan ibunya bernama Hamamah. Mereka budak berkulit hitam yang tinggal pada keluarga Bani Jumah yang tinggal di Makkah. Saat ayah Bilal meninggal, remaja Bilal diwariskan kepada Ummayah bin Khalaf.
Mengapa Bilal disiksa majikannya? Ia diam-diam masuk Islam. Ia sangat tertarik dengan pribadi Rosululloh, yang mengajarkan tauhid beriman kepada Allah SWT. Secara sembunyi-sembunyi Bilal banyak belajar tentang ajaran tauhid yang disampaikan Rosululloh. Ia menjadi kelompok pertama yang masuk Islam dari kalangan budak. Ia juga orang pertama yang beriman kepada Allah SWT dari kalangan keturunan kulit hitam. Mendengar sepak terjang Bilal, Umayyah bin Khalaf Sang Tuan murka berat. Ia naik pitam sampai ke ubun-ubun. Ia marah dan melakukan penyiksaan kepada budaknya bernama Bilal. Umayah murka berat karena merasa dipermalukan. Salah seorang budaknya memeluk agama Islam, padahal ia seorang bangsawan terkemuka di kawasan Makkah. Bahkan Umayyah seorang tokoh penting kaum Quraisy yang sangat membenci ajaran Islam.
Walau siksaan mendera, Bilal bergeming. Ia tetap teguh mempertahankan iman dan tauhidnya. Setiap lecutan cambuk dari Tuannya agar keluar dari penganut Islam, ia jawab dengan Ahad, Ahad dengan kukuh. Bilal dengan teguh berucap, Ahadun Ahad, Ahadun Ahad. Allah Maha Esa. Allah is Almighty. Ketika tuannya memaksa Bilal untuk menyembah Latta dan Uzza, ia bersikukuh menolak dan terus memuji keagungan Allah Sang Maha Pencipta dan Rosul-Nya.
Penyiksaan Bilal seorang budak yang tinggal pada keluarga Umayyah bin Khalaf, akhirnya terdengar oleh Sahabat Rosululloh Abu Bakar As Shiddiq r.a. Sahabat nabi tersebut melakukan pembicaraan dengan Umayyah untuk “membeli” Bilal. Akhirnya Bilal bisa merdeka dengan imbalan uang yang sangat mahal. Bilal merdeka. Ia tak lagi menjadi budak keluarga Ummayah bin Khalaf. Bilal menjadi salah seorang sahabat andalan Rosululloh dari kalangan hamba sahaya.
Muadzin ar Rosululloh
Kiprah Bilal luar biasa. Ketika mesjid Nabawi Madinah selesai dibangun, Bilal dipercaya Rosululloh untuk mengumandangkan adzan. Waktu itu, Rosululloh mensyariatkan adzan sebelum didirikan salat. Azan pada saat itu dimaksudkan sebagai penanda datangnya waktu salat dan juga sekaligus mengajak kaum muslimin di sekitar Madinah untuk melaksanakan salat berjamaah di Masjid Nabawi.
Ada sejumlah pertimbangan mengapa Bilal terpilih sebagai muadzin ar Rosululloh. Bilal memiliki suara yang merdu dan melengking keras. Ia juga teruji keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan salah seorang sahabat Rosululloh yang gigih mempertahankan syiar Islam sejak periode awal dakwah yang dilakukan Rosululloh. Sosok Bilal bukan sebatas muadzin kepercayaan Rosululloh, tetapi juga perlambang persamaan derajat manusia dalam berkhidmat ketauhidan Allah SWT. Bilal juga sosok pemberani, karena ia mampu melantunkan azan dengan penuh khusuk, kendati pada masa awal dakwah Kenabian, kaum Quraishy dan kaum jahiliyah selalu meneror dan mengganggu keamanan.
Adzan Terakhir
Berbilang tahun Bilal menjadi warga Negeri Syam. Sampai suatu hari, sahabat Nabi Umar bin Khatab a.s. datang menemuinya. Umar bin Khatab datang jauh-jauh dari Madinah menuju Negeri Syam dengan satu tujuan membujuk Bilal untuk pulang ke Madinah.
“Kaum muslimin di Madinah sangat merindukan mu wahai Bilal. Aku datang untuk menjemputmu. Kaum Muslimin sangat merindukan lantunan Adzanmu. Mereka sangat ingin shalat berjamaah diawali dengan suara adzan mu, wahai Muadzin Rosululloh.”
Ternyata bujukan dan permintaan Umar bin Khattab r.a tak bisa dipenuhi. Bilal masih merasakan duka yang sangat mendalam. Bilal merasa berat untuk pergi ke Madinah guna mengumandangkan adzan. Ia merasa berat. Ia begitu cintanya kepada Rosululloh. Ia tak sanggup mengumandangkan adzan setelah Rosululloh wafat.
Waktu bergulir. Bulan berganti bulan. Sampai pada suatu malam, Bilal bermimpi bertemu Rosululloh. Dalam mimpi Rosululloh menegur Bilal, Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Wahai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa seperti itu? Pertemuan dalam mimpi tersebut, membuat Bilal merasa ketakutan. Kuatir ditinggalkan Rosululloh. Esoknya Bilal pamit kepada keluarganya untuk pergi ke Madinah. Ia merasa rindu tiada tara dan ingin segera berziarah ke Makam Rosululloh SAW di Madinah.
Unfinished adzan
Ketika ia tiba di Madinah, Bilal bersimpuh di makam Rosululloh. Ia mengungkap rasa rindu dan hormat kepada Rosululloh dengan bercucuran air mata. Di sana, ia bertemu dengan cucu kesayangan Kangjeng Nabi Muhammad SAW, yaitu cucunda Hasan dan Husein. Kedua cucu Rosululloh sangat senang bertemu dengan Bilal dan berujar penuh harap, “Pamanda Bilal, sudikah engkau mengumandangkan adzan untuk kami ? Sekali saja menjelang salat berjamaah, kami sangat ingin mengenang kakek tercinta Rosululloh.”
Sayidina Umar bin Khatab dan sahabat lainnya juga turut membujuk Bilal. Mereka merindukan hal sama. Rindu semasa shalat bersama Rosululloh diawali dengan suara adzan yang dilantunkan Bilal, muadzin kebanggaan Rosululloh. Bilal sang muadzin Rosululloh merasa saatnya untuk menumpahkan rasa rindu kepada baginda Rosululloh. Ia menerima tawaran itu dengan berat hati.
Menjelang waktu shalat, suara merdu Bilal terdengar melengking sampai ke pelosok Madinah. Lafad Allohu Akbar, Allohu Akbar yang diserukan Bilal bergema ke seluruh pelosok Madinah. Warga Madinah terkejut kaget mendengar suara adzan tersebut. Mereka sangat familiar dengan alunan adzan yang khas, dan sempat menghilang semenjak Rosulloh wafat. Alunan suara adzan tersebut mengingatkan memori indah takkala menjelang salat berjamaah bersama Rosululloh.
Ketika alunan lafad Ashadu anla illaha illallah dikumandangkan, kaum muslimin Madinah berhamburan menuju arah suara di Masjid Nabawi. Mereka histeris mendengar lantunan lafad adzan, serasa mengulang kebersamaan dengan Rosululloh yang beberapa tahun hilang.
Ketika lafad Ashadu anna Muhamaddan Rosululloh dilantunkan, suara Bilal melemah dan semakin parau. Bilal bin Rabah tak sanggup lagi melanjutkan adzan. Unfinished adzan. Ia tak sanggup lagi menyebut nama orang yang paling dikasihi dan paling dirindukan. Bilal bercucuran air mata. Tangis rindu kepada Rosululloh tak hanya dirasakan Bilal. Cucu kesayangan Rosululloh juga mencucurkan airmata dan merasakan kegundahan teringat kepada kakek tercinta. Suasana waktu itu membuat warga Madinah banjir air mata. Tangisan rindu kepada Rosululloh dirasakan oleh semua warga Madinah yang hadir.
Itulah Bilal bin Rabah. Sosok muadzin kebanggaan Rosululloh. Ia istiqamah untuk terus memupuk keimanan dan ketakwaan di tengah kegetiran hidup sebagai budak. Ia sangat mencintai Rosululloh. Begitu cintanya kepada Rosululloh, ia tak sanggup lagi menuntaskan adzan ketika Rosululloh sudah tiada. Suara Bilal semakin melemah ketika melantunkan lafad Ashadu anna Muhamaddan Rosululloh.