Oleh: Prof. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D. (Rektor Universitas Koperasi Indonesia)
Perlunya melihat koperasi sebagai subjek keilmuan seperti halnya pertanian atau pertahanan. Masyarakat luas sudah memahami bahwa pertanian merupakan suatu subjek keilmuan dengan spesialisasi yang relatif lengkap, misalnya, agronomi, ilmu tanah, ilmu benih, dan lainnya. Gelar Sarjana Pertanian sebagai simbol keahlian dalam bidang pertanian sudah lama diberikan dan demikian pun dengan gelar kesarjanaan di banyak bidang lainnya.
Rupanya tidak demikian halnya dengan Koperasi. Koperasi tampaknya sudah dipahami sebagai bidang keahlian dalam disiplin ilmu ekonomi atau manajemen sehingga sudah ada bidang keahlian ekonomi koperasi atau manajemen koperasi. Artinya, ekonomi koperasi adalah penerapan disiplin ilmu ekonomi dalam bidang koperasi. Sama juga dengan manajemen koperasi, yaitu penerapan ilmu manajemen dalam koperasi. Karena itu, gelar kesarjanaan yang diberikan adalah Sarjana Ekonomi atau Sarjana Manajemen.
Latar belakang pemikiran yang disampaikan di sini bukan sekedar untuk mencari gelar dari suatu hasil pendidikan tinggi dan menyampaikan layak dan perlu keberadaan Sarjana Koperasi (S.Kop). Pemikiran yang disampaikan di sini merupakan suatu langkah pragmatis untuk mendapatkan pengetahuan sampai di mana kita memperhatikan pendidikan koperasi untuk mendukung pengembangan pendidikan koperasi yang sesuai dengan kebutuhan masa depan Indonesia, apalagi kalau ini dipandang sebagai amanat Konstitusi.
Dengan menggunakan indikator Sarjana Pertanian misalnya, kita dengan mudah menelusuri kapabilitas keilmuan di bidang pertanian. Jadi, apabila hadir Sarjana Koperasi (S.Kop) kita dengan mudah menelusuri seberapa tinggi kapabilitas sumberdaya manusia Indonesia di bidang perkoperasian dalam level, misalnya, S.Kop-akuntansi, S.Kop-Manajemen, S.Kop-Administrasi, S.Kop-Keuangan dan seterusnya.
Tulisan yang disampaikan pada Imajinasi koperasi sebelumnya adalah kerangka pemikiran fundamental yang kiranya dapat dijadikan sebagai landasan untuk membangun pengetahuan bahwa Koperasi atau Perkoperasian layak dan mesti dijadikan suatu subjek keilmuan lengkap dengan gelar kesarjanaannya seperti S.Kop dengan level S1, S2, dan S3 di bidang koperasi.
Orientasi Metodologi
Tulisan ini menggunakan pemikiran G.L. Johnson (1986) yang diterbitkan dalam buku “Research methodology for economists: Philosophy and practice (2nd ed)”, Penerbit Collier Macmillan, sebagai referensi utama.
Menurut Johnson bahwa realitas yang terlihat oleh para peneliti itu tergantung dari landasan orientasi metodologi yang diyakini dan digunakan oleh peneliti yang bersangkutan. Kalangan penganut faham orientasi metodologi positivisme tidak menerima bahwa nilai (baik/buruk atau salah/benar) merupakan bagian dari realitas. Karena itu, menurut penganut faham ini nilai (baik/buruk atau salah/benar) bukan bagian dari subjek sains. Karena itu pula, kita tidak bisa berharap lahirnya pengetahuan normatif atau preskriptif dari kalangan ini.
Sebaliknya yang terjadi dengan dengan penganut faham normatvisme. Sedangkan faham orientasi metodologi pragmatisme melihat pengetahuan positif dan pengetahuan normatif selalu bersifat inter-dependen.
Orientasi metodologi positivisme menghasilkan pengetahuan positif. Orientasi metodologi normativisme menghasilkan pengetahuan normatif dan orientasi metodologi pragmatisme menghasilkan pengetahuan preskriptif (resep).
Proses riset di dalam kerangka orientasi metodologi di atas merupakan proses riset disiplin (disciplinary research), riset subjek tertentu seperti ketahanan pangan atau koperasi (subject matter research), dan riset masalah tertentu (problem solving research). Gambar berikut (di bagian akhir tulisan ini) memperlihatkan hubungan antara orientasi metodologi, jenis penelitian, dan jenis pengetahuan yang diperoleh.
Secara ringkas disampaikan butir-butir berikut sebagai intisari pemikiran Johnson (1986):
Tiga Orientasi Metodologis
Johnson berpendapat bahwa peneliti mengadopsi sudut pandang filosofis yang berbeda tergantung pada tujuan mereka:
- Orientasi Positivis:
- Berfokus pada analisis empiris objektif untuk menjelaskan fenomena.
- Mengandalkan data kuantitatif, pengujian hipotesis, dan hubungan sebab-akibat.
- Contoh: Mempelajari variasi hasil panen menggunakan model statistik.
2. Orientasi Normatif:
- Memadukan nilai, etika, dan tujuan kebijakan untuk menjawab “apa yang seharusnya.”
- Mengevaluasi hasil berdasarkan standar sosial atau etika.
- Contoh: Menilai keadilan subsidi pertanian bagi petani kecil.
3. Orientasi Pragmatis:
- Mengutamakan pemecahan masalah praktis dengan menggabungkan teori dan praktik.
- Menyesuaikan metode dengan batasan dunia nyata dan kebutuhan pemangku kepentingan.
- Contoh: Merancang sistem irigasi hemat biaya untuk daerah rawan kekeringan.
Tiga Jenis Penelitian
Setiap orientasi metodologis berkorespondensi dengan jenis penelitian:
- Penelitian Empiris-Analitis (Positivis):
- Menguji hipotesis, mengukur variabel, dan mengidentifikasi pola.
- Alat: Survei, eksperimen, pemodelan ekonometrik.
- Contoh: Menganalisis dampak penggunaan pupuk terhadap kesehatan tanah.
2. Penelitian Normatif-Kebijakan (Normatif):
- Mengevaluasi kebijakan, implikasi etis, dan tujuan sosial.
- Alat: Analisis biaya-manfaat, konsultasi dengan pemangku kepentingan.
- Contoh: Merumuskan kebijakan reformasi agraria untuk mengurangi kesenjangan pedesaan.
3. Penelitian Terapan-Pemecahan Masalah (Pragmatis):
- Menyelesaikan tantangan spesifik dan kontekstual.
- Alat: Studi kasus, penelitian aksi partisipatif.
- Contoh: Berkolaborasi dengan petani untuk menerapkan pengendalian hama berkelanjutan.
Tiga Jenis Pengetahuan
Jenis penelitian ini menghasilkan bentuk pengetahuan yang berbeda:
- Pengetahuan Ilmiah/Teoretis (Positivis):
- Fakta, hukum, dan teori universal (misalnya prinsip rotasi tanaman).
2. Pengetahuan Normatif/Berbasis Nilai (Normatif):
- Pedoman etika dan kerangka kebijakan (misalnya keadilan dalam alokasi sumber daya).
3. Pengetahuan Praktis/Pengalaman (Pragmatis):
- Wawasan dan keterampilan spesifik konteks (misalnya adaptasi teknik pertanian ke iklim lokal).
Integrasi dan Komplementaritas
Johnson menekankan bahwa orientasi, jenis penelitian, dan bentuk pengetahuan ini saling tergantung. Contoh:
- Studi tentang dampak perubahan iklim (positivis) dapat menginformasi rekomendasi kebijakan (normatif), yang kemudian diadaptasi ke praktik pertanian lokal (pragmatis).
- Mengabaikan satu dimensi berisiko menghasilkan solusi tidak lengkap (misalnya kebijakan teknis yang adil secara etika tetapi tidak praktis).
Relevansi dalam Koperasi Pertanian
Kerangka kerja Johnson sangat berharga di bidang seperti Koperasi Pertanian, di mana:
- Kompleksitas: Isu seperti Pengembangan Koperasi Pertanian memerlukan data empiris, pertimbangan etika, dan inovasi lapangan.
- Keragaman Pemangku Kepentingan: Peneliti harus menyeimbangkan rigor ilmiah, tujuan kebijakan, dan kebutuhan Koperasi Petani yang mementingkan kesejahteraan petani sebagai anggotanya..
Singkatnya, dengan mengangkat dan menjadikan Koperasi sebagai subjek keilmuan dengan menerapkan kerangka metodologi yang disampaikan Johnson (1986) dilengkapi dengan perkembangan hasil-hasil penelitian pada era terakhir, kita akan memperoleh kekayaan pengetahuan disiplin tentang Koperasi, yang dengan sendirinya akan memperkaya kepemilikan pengetahuan tentang subjek Koperasi, dan dengan memanfaatkan dua stok pengetahuan ini ditambah dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pengambil kebijakan pembangunan Indonesia, maka akan diperoleh kebijakan yang kaya akan landasan pengetahuan di belakangnya. Jadi, sangat layak dan perlu mengangkat KOPERASI sebagai subjek keilmuan dan Sarjana Koperasi (S1, S2, S3) dengan beragam spesialisasinya menjadi indikator kapabilitas pembangunan koperasi atau perkoperasian Indonesia mendatang.
AP. Ciburial, 25 Februari 2025